Cerita Secangkir Kopi Pagi Ini

Aku masih ingat secangkir kopi yang selalu kamu pesan, espresso tanpa gula, pahit dan pekat. Namun harumnya aku suka. Seperti wangi parfummu yang membekas di tubuhku sehabis kita saling bertukar ciuman selamat tidur.

Malam kemarin, ada yang berbeda saat tubuhku mencoba menggapai punggungmu, ada rasa hangat yang lebih di dalam dekapanmu. Kamu menggengamku semakin erat, seolah mengisyaratkan perpisahan.

Jika iya,

ini yang paling sunyi. Tak ada aksara terucap. Hanya tubuh yang melebur jadi satu.

Ada dorongan untuk bilang, jangan pergi, tapi mulut pun tak kuasa untuk bicara.

Alih-alih kamu malah menyebutkan nama belakangmu.

Ada kegelisahan dari gerak bibirmu, kekhawatiran kini menular ke dalam benakku.

Dengan ragu aku mengeja pelan nama belakangmu, yang ternyata milik orang lain. Rahasia yang tiap malam selalu kamu simpan dalam diam. Sembunyi di tiap desahmu.

Entah mengapa aku makin memelukmu erat. Memilih tak peduli. Kini hanya partikel udara yang menjadi jarak kita. Bukan lagi nama belakangmu.

Sakitkah? tanyamu.

Aku pura-pura tertidur saat mendengarnya.

Paginya, wangi parfummu tersisa di sela-sela kasur ini. Masih terasa bagaimana kamu pelan-pelan melepas pelukanmu.

Aku menyesap espresso di sisa cangkirmu, berusaha untuk menahan perasaan sesak itu.

Sayang, bersamamu tak pernah sepahit ini.

coffe