Tentang Mimpi atau Kamu Menyebutnya Sebagai Cita-Cita

Menjadi manusia berumur selalu diidentikan dengan kedewasaan. Karena dengan umur yang banyak biasanya berbanding lurus dengan pengalaman hidup dan kebijaksanaan dalam memandang hal-hal yang dulu hanya dua dimensi saja. Katanya sih.

Saya kurang tertarik menjadi tua, juga menolak ketinggalan hal-hal baru. Mungkin itu yang membuat saya di umur 30 tahun ini serasa seperti terjebak pada diri saya di masa lalu.

Seolah-olah muscle memori kepala ini sesekali bersinapsis dengan memori kolektif belasan tahun lalu saat saya masih SMA.

Omongan, “gila ya, elo masih sama kayak waktu SMA” tentang diri saya masih suka terdengar.

Really?

Kalau ke arah fisik yang masih muda, tentu saja ucapan mereka benar-benar menghina. Semenjak pandemi, tubuh saya berada di berat badan terberat seumur hidup saya. 105 KILO. Ya allah. 100 KILO LEBIH.

Tapi, saya yakin mereka juga tidak bermaksud membahas kolagen di wajah saya yang makin tipis ini.

Mereka cenderung meng-highlight karakter dan kepribadian saya yang tetap menarik (ini sih saya yang ngeklaim sendiri ya. Hehe).

Saya penasaran dengan maksud omongan teman-teman saya tersebut, suatu waktu saya pun menanyakan pertanyaan kurang lebih, “Memang gue waktu SMA kayak gimana deh?”. Karena saya begitu samar-samar mengingatnya. Sudah 12 tahun lebih juga kan.

“Ya, gitu. Everything in your life seems so free. Elo selalu ngelakuin apa yang elo suka. Ngejar apa yang selalu elo pengen. Dan menunjukkan itu semua dengan semangat. Api itu… api itu.. seperti kekuatan yang membuat elo bisa ngetawain semuanya.”

Tentu saja teman saya tidak berbicara selebay itu. Namun kurang lebih makna ucapannya begitulah. Kalau tidak salah. Hehe.

Tapi, sedikitnya saya mengiyakan ucapannya.

Api, semangat, mengejar hal yang saya suka. Tiga kata itu berputar di kepala saya. Lalu saya menyadari satu hal. Bahwa seumur hidup saya selalu ada fase “kesemsem”. Fase di mana saya selalu terpesona dengan banyak hal keren yang saya lihat dan saya ingin menjadi bagian di dalamnya.

Awalnya sepertinya sejak saya menyadari bahwa saya ingin seperti Sarah Sechan di tivi atau menjadi penulis di koran dan majalah yang tante saya selalu baca.

Profesi menjadi penyiar radio lah, vj mtv, penulis, fotografer fashion, pembuat film, atau bekerja di majalah adalah “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” yang mungkin teman-teman saya maksudkan.

Orang-orang menyebutnya sebagai mimpi. Tapi buat saya kala itu, hal-hal itu lebih dari cuma mimpi. Itu semua adalah alasan saya untuk bergerak. Untuk belajar. Untuk berkompetisi.

Meskipun semuanya tidak ada yang kejadian sih. Tapi, dulu…. dulu sekali… hari-hari saya benar-benar diisi dengan SEMUA hal terkait mimpi saya. (Tergantung saya lagi berada di fase yang mana ya).

Contohnya, saat ingin menjadi penyiar, saya dulu mendengar semua radio dan mencatat jokes yang saya suka. Mengolahnya untuk menjadi karakter saya nanti. Bangun pagi tiap hari untuk mendengar penyiar yang saya suka. Menghafal semua lagu yang masuk top 40. Latihan olah vokal dan sering berpura-pura sedang siaran semua saya lakoni.

Lalu ironi itu terjadi. Tepat berumur 18 tahun saya mencoba untuk melamar menjadi seorang penyiar radio di Bogor. Saya masuk lima puluh besar. Dan, sayangnya semua berhenti di situ. Saya kalah. Banyak yang lebih lucu. Banyak yang lebih bagus suaranya. Padahal seumur hidup semua orang selalu bilang suara saya radio voice lah, serak-serak basah lah.

Tapi tidak, para juri itu tidak hanya menilai vokal dan artikulasi saya saja. Mereka menilai penampilan saya yang ngepas banget cenderung bully-able, tempat saya nongkrong, semua yang berhubungan dengan kegaulan di umur saya. Jujur, nilai saya nol semua untuk itu. Back in the days saya cuma anak kampung yang doyan nonton tv, baca buku, dan mendengar radio saja. Kata gaul begitu jauh dari hidup saya.

Tentu saja tidak hanya itu. Saat test siaran selama 2 menit. Saya tergagap. Saya tidak bisa mengenalkan diri saya dengan baik. Padahal seumur hidup saya menginginkan ini semua. Hasilnya? Ya gagal dengan gemilang dong.

Sejak itu saya mengucapkan selamat tinggal pada mimpi menjadi seorang penyiar radio. Ternyata saya tidak sebagus itu. Tidak seberbakat seperti yang saya pikir. Lalu mencari mimpi yang lain.

Waktu berlalu, satu persatu “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” pun saya ucapkan sayonara panjang. Semuanya gagal maning bos. Ucapan, “I’m not cool enough, I’m not good enough, ga punya koneksi, kurang portfolio”, dll adalah penolakan yang sering saya dapat.

Kembali ke masa kini, saat ngobrol dengan teman saya. Saya bercerita balik sepertinya kalau bukan karena mimpi-mimpi dan kegagalan itu entah apa yang akan terjadi dengan hidup saya sekarang.

Saya malah takut sendiri membayangkan menjalani hidup yang gitu-gitu saja.

“Capek ga sih hidup kayak gitu?” tanya teman saya lagi.

Saya berpikir sejenak. Mencoba mencari jawaban yang semoga terdengar pintar dan filosofis. Tapi sayangnya saya tidak menemukan apa pun.

Meskipun banyak gagalnya atau secara presentase gagal semua. Tapi, benar juga sih. Anehnya kok saya masih bertahan saja ya?

Setelah ribuan film yang saya tonton. Ratusan buku yang saya baca. Ratusan draft tulisan yang tidak pernah selesai.

Apa yang saya cari?

Jangan-jangan saya masokis? Ketagihan gagal.

Atau bisa jadi proses dan ratusan kegagalan itulah yang malah membentuk saya. Bukan kesuksesannya.

Karena saya menyadari bahwa dengan mimpi tersebut saya memiliki tujuan untuk bangun dari tempat tidur saya. Untuk bergerak. Untuk berani menjadi sesuatu. Meskipun ga tau kapan akan “make it happen”-nya.

Back to reality, SMA telah 12 tahun berlalu dan semua teman-teman saya sudah berkeluarga semua. Mungkin mereka sendiri telah lupa dengan mimpi mereka masing-masing.

Di pojok kamar saya, saya masih saja sendiri dengan mimpi-mimpi usang itu. Meski tidak sengotot dulu.

“Menyesalkah?” tanya saya pada diri saya sendiri.

Entahlah. Hidup hanya sekali. Rasanya akan terlalu sesak untuk sebuah penyesalan yang sebenarnya tanpa saya sadari telah membantu saya untuk berjalan sejauh ini. Saya juga letih terus menerus feeding luka masa lalu ini.

Kalau gagal, ya sudah. Bangun lagi dan cari yang lain. Saya tidak seberuntung itu untuk bisa berkubang lama-lama dengan rasa dendam dan kegagalan. Capek banget bawa-bawa perasaan “dunia berhutang pada saya”. Mending energinya buat kerjain yang lain deh ah.

Pernah ada yang bilang ke saya bahwa: “Hidup terlalu sebentar untuk diberi sebuah tujuan. Jalani terus saja.”

Maka di tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk the old me, the little me, untuk berani bermimpi dan terus bangkit.

Meskipun saya tau kala itu di depan sana begitu berkabut dan tanpa ujung. Tapi kamu terus berjalan ke sana, tanpa menyesal sama sekali. Kamu lewati semua kegagalan dan jatuh itu. Dan besoknya kamu terus melangkah. Berlari. Jatuh. Menangis. Bangun. Dan melangkah lagi.

Dengan tulus saya ucapkan terima kasih atas itu semua.

source: https://unsplash.com/photos/t6t2-gXKxXM

Gege Mengejar Cinta in Real Life.

Di masa remaja ketika SMA gue membaca sebuah novel berjudul Gege Mengejar Cinta. Sebuah novel dengan kisah cinta segitiga yang berpusat di antara Gege, Tia, dan Caca.

Kisahnya kurang lebih; Gege suka sama Caca sejak SMP tapi enggak cukup punya keberanian untuk nembak meski sampai SMA beres. Kemudian saat kuliah mereka berpisah. Fast forward Gege satu kantor dengan Tia. Tia suka sama Gege tapi gengsi. Lalu Caca hadir lagi di hidup Gege. Tia keki. Gege berharap. Caca ya terima aja. Endingnya, semua perempuan tersebut ngejar Gege. Tapi, Gege lebih memilih Caca. Namun, sayangnya tidak ada yang berhasil memiliki siapa pun. Tidak Gege yang sudah segitunya banget menyimpan perasaannya selama bertahun-tahun. Tidak juga Tia yang sudah mengubah dan mengorbankan banyak hal dalam dirinya untuk mendapatkan perasaannya Gege.

Mereka bertiga akhirnya berpisah dalam haru dan ironi.

Gue menyukai bukunya dengan teramat sangat. Gue selalu berfikir gue adalah Gege. Gue adalah Gege untuk R. Namun, setelah bertahun-tahun berjalan semua terasa bodoh. Gue akhirnya berhasil melepas R.

Lalu, fast forward di umur gue yang dua puluh delapan tahun, di saat setahun terakhir ini tiba-tiba hidup membuat gue menjadi seorang Tia.

Tia yang gengsi tapi sekuat tenaga berusaha untuk mendapatkan perhatian Gege yang enggak cakep cakep banget tapi Tia sayang.

Tia yang sudah melakukan apa pun, mengubah dirinya, mengorbankan banyak hal di hidupnya, membuang gengsinya hanya demi membuat Gege setidaknya mau ‘stay’ bersama dia.

Namun, hidup kan terkadang memang sulit untuk beberapa orang ya. Mau diet keto sampai gajian ludes juga tetep aja kalau misalkan ditakdirkan gendut yaudah lah yaw.

Mau dipaksain ‘sebegimananya’ juga jika misalkan pada dasarnya si Gege enggak suka-suka amat sama Tia, ya enggak bakalan jadi juga.

Gue sayang banget dengan karakter Tia.

Tia yang enggak pernah meminta Gege untuk berubah hanya agar diterima dirinya.

Tia yang rela berjuang bersama Gege tanpa Gege minta.

Tia yang akan menomor satu kan Gege dengan sukarela dan akan selalu tersenyum setiap Gege mengecewakan dia.

Tapi ya Tia enggak akan pernah cukup untuk Gege. Dan perlakuan Gege ke Tia juga akan selalu kurang jika ingin seperti ekspektasi Tia.

They will hurt each other so much. They bad for each other. And it will ruin everything between them.

Namun, gue tahu Tia sudah melakukan yang terbaik dari dirinya untuk ‘mengejar’ Gege.

Tia pantas mendapatkan seseorang yang memang akan memperlakukan Tia seperti Tia mengejar Gege.

Tia pantas bahagia dengan mereka yang memang menginginkan Tia dalam hidupnya.

Gue yakin di awal-awal pahit banget. Tia sampai resign juga padahal karirnya lagi bagus-bagusnya. Gue tau banget deh Tia pasti sampai ke psikolog dan psikiater buat bisa move on dari Gege.

Ya memang lah ya kita enggak selalu bisa mendapatkan apa yang kita mau. Bukan hanya karena gulali kata yang menyatakan; ketika kita tidak mendapatkan yang kita mau, mungkin dia memang bukan untuk kita. Tuhan menjauhkan hal yang akan merusak kita.

Menyenangkan ketika mendengar kata-kata itu. Terlepas dari benar tidaknya.

Dan untuk Tia Tia di luar sana,

kamu bisa kok bahagia dengan diri kamu dan orang baru lagi. Pahit-pahitnya hidup pasca ‘move on’ dari Gege yang baru banget mungkin hanya fase yang nantinya setelah benar-benar sembuh elo akan tersenyum dan ketawa sendiri ingetnya.

Tapi, untuk sekarang ayok semangat untuk tidak berlama-lama dengan perasaan sakit itu.

Karena mau meromantisasi rasa sakit dengan amat indah pun pada akhirnya semua yang harus berakhir pasti akan berakhir juga. Jangan buang-buang waktu dengan kesedihan yang sebenarnya kalian juga tahu ini hanya akan berakhir sia-sia.

Bisa kok. Meski tetap ada retak dan patah di sana. Tapi in the end of the day, semua akan baik-baik saja.

Tinggal kamunya mau atau enggak. Bisa kan?

Lauh Mahfuz: Ketika Perasaan Sedekat Nafas Namun Terpisah Rasa

Seorang teman pernah berkata, tidak apa mencinta sesuatu yang tidak dapat dimiliki, karena setidaknya ia pernah berada dalam Lauh Mahfuz seseorang tersebut.

Kami tengah makan siang di suatu akhir pekan, suasana restoran yang santai membuat otak saya bekerja lebih lambat dari biasanya. Yang saya dengar keluar dari mulut teman saya adalah: LO MAMPUS. Marah dong saya. Lalu untuk memastikan, saya bertaya kembali pada teman saya tentang apa yang tadi ia katakan sebelumnya.

Secara perlahan teman saya menyebutkan Lauh Mahfuz dengan begitu khidmat. Seperti ada kerinduan dalam ucapannya. Namanya begitu cantik dan misterius. Ternyata Lauh Mahfuz memiliki arti yang begitu dalam.

Pic from: https://unsplash.com/photos/67rnodKzsRQ

Secara bebas Lauh Mahfuz adalah sebuah kitab kehidupan yang sudah ditulis Tuhan bahkan sebelum manusia itu sendiri lahir.

Dalam kitab tersebut berisi kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh siapa saja yang akan hadir sepanjang manusia itu hidup.

Teman saya meyakini bahwa kehadiran dirinya di dalam hidup seseorang yang ia cintai selama enam tahun terakhir ini bukan tanpa alasan. Ia ada karena sesuatu dan memiliki maknanya sendiri. Meskipun kecil. Dan baginya itu semua sudah cukup. Ia berbahagia karenanya.

Dengan mengetahui fakta tersebut membuat teman saya sedikitnya merasa lebih ikhlas ketika tidak dapat memilikinya.

Karena mungkin cinta memiliki banyak bentuknya. Mungkin cinta dengan versi yang teman saya punya adalah yang terbaik yang bisa ia dapat. Keikhlasan untuk tidak menguasai dan memiliki, namun berbahagia karenanya. Keegoisan lebur dalam kekagumannya. Sesederhana itu. 

Setelah kami menghabiskan menu terakhir kami, ada dorongan yang menyesakkan dalam diri saya untuk menghapus nomor R di handphone saya.

Karena dalam versi saya, entah bentuk cinta apa yang saya punya, pada akhirnya dalam cerita yang saya miliki yang tersisa hanya rasa sakit berkepanjangan yang membosankan.

Dan saya tidak butuh kitab apa pun untuk mengingatkan saya bahwa tidak ada siapa pun yang menginginkan saya berada dalam hidup mereka.

Mungkin ada satu bentuk cinta yang saya butuhkan untuk sekarang. Kedamaian akan rasa sendiri yang tak lagi merongrong mengejek, namun membebaskan.

Karena pada akhirnya tidak semua orang memiliki keberuntungan untuk bisa bersama dengan orang yang mereka cintai. Hidup tidak semudah dan seadil itu. Dan tak akan pernah.

Jika tidak dapat memiliki seseorang yang saya inginkan, setidaknya saya bisa merasa diinginkan meskipun itu hanya dengan diri saya sendiri.

When I don’t believe in anything anymore

Entah karena rasa lelah atau rutinitas yang terlalu menyesakkan. Terkadang ada momen di mana apa yang gue lakuin beberapa tahun belakangan ini hanyalah fase di mana gue hanya hidup tanpa benar-benar tahu apa yang gue kejar dan lakuin. Gue cuma bangun di usia dua puluh enam tahun dan dua tahun kemudian tiba-tiba gue sudah dua puluh delapan dan lupa dengan apa yang gue jalani dua tahun belakangan kemarin.

Apakah gue hanya menunda-nunda kematian atau sedang berusaha mendekatinya? Atau hanya bosan saja?

Entahlah. Gue bukannya lagi ada suicidal thought atau apa, tapi terkadang hidup yang flat dan begini-begini saja yang tanpa pesan motivasional menggugah hati adalah keseharian yang gue jalani tiap harinya.

Bahkan satu-satunya hal yang bisa membuat gue merasa excited, yaitu makan, malah terkesan seperti emotional eating dibanding petualangan lidah yang dulu gue niatkan untuk menjadi aktivitas memperkaya palet rasa dan mengumpulkan cerita-cerita seru di dalamnya. Sekarang semua terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang membut gue begitu menginginkan sesuatu sehebat itu. Selain menunggu gajian.

Usaha untuk menguruskan berat badan pun hanya wacana belaka, kondisi sekarang seperti sudah menerima (atau putus asa) dengan diri sendiri. Kadang ingin terus ada di kantor, atau enggak pengen ngantor sama sekali.

Apakah ini yang dinamakan kebosanan di umur dua puluhan akhir yang selalu saja orang kaitkan dengan segera mencari pasangan hidup sebagai jawaban final?

Jika pun itu memang benar adanya, alangkah menyedihkannya hidup gue yang harus mencari kebahagian di dalam diri orang lain.

Kini bahkan untuk menuliskan satu tulisan ini saja gue harus memaksakan menyeret diri gue ke coffee shop yang lumayan jauh dari kosan, kemudian meminum kopi susu yang tidak begitu manis dan harus bengong selama dua jam tanpa berbuat apa pun.

Semalas dan sekering itu kah mental gue sekarang?

Sesekali gue merindukan semangat dan energi yang membuat gue bisa berbagi cerita ke orang lain tanpa perlu julid atau gosipin orang. Ya cuma berbagi mimpi dan rahasia-rahasia kecil yang menyenangkan. Namun, sayangnya kali ini tidak ada orang lain yang particular ingin gue bagi rahasia atau cerita-cerita. Seolah kesendirian ini adalah lifestyle yang tepat untuk gue sekarang. Yang terlalu enggan untuk berkomitmen dan memulai hubungan romansa dengan apa pun.

Tapi sepertinya memang hidup di dua puluhan akhir itu kalau bukan ngejar karir atau ngurus keluarga baru memang enggak seru kali ya. Kayak hidup gue.

Karena sekarang setiap kali ingin memulai sesuatu dan percaya pada seseorang tiba-tiba saja perasaan pantas dan layak untuk berada pada frekuensi kebahagian yang sama dengan orang tersebut seperti barang mahal yang jauh dari rengkuhan gue. Gue jadi parno sendiri kalau-kalau semuanya akan berakhir gagal. Bahwa gue akan menjadi si yang terluka dan akan selalu ditinggalkan. Sepengecut itu.

Semua orang terlihat berjalan cepat dengan mimpinya masing-masing sedang gue di sini, duduk dengan sedikit cemas, dan dari kejauhan memandangi mereka yang terus melaju dan semakin jauh.

Mungkin memang beberapa orang di muka bumi ini ditakdirkan untuk menjalani sesuatu yang biasa-biasa saja, dengan luka dan kebahagian yang biasa-biasa saja juga.

Screen Shot 2018-11-03 at 16.31.17
Photo from https://unsplash.com/photos/vWfKaO0k9pc

Twenty Something Life So Far…

Jangan pernah main-main dengan doamu.

Hal itu terlintas begitu saja ketika hari Sabtu kemarin selesainya acara farewell party seorang teman di Fat Shogun. Sebuah bar di bilangan Mega Kuningan. Masih dengan kepala pening dan mengantuk gue pun keesokan harinya memaksakan tetap datang ke acara tasyakuran aqiqah anak sahabat gue di Bekasi.

Yes, gue harus menempuh dua jam perjalanan motor untuk sampai ke sana. Semua karena asas kepalang janji dan dia sudah kode-kode jauh-jauh hari untuk gue mendokumentasikan acara mereka.

Gue pun datang dengan berlinang keringat dan bau knalpot sesampainya di lokasi. Dengan terburu-buru gue menuju kamar teman gue untuk mendapatkan sedikit kesegaran tiupan dingin angin AC.

Saat gue membuka pintu kamar, gue melihat satu sosok bayi yang dikelilingi oleh anak-anak kecil. Mereka begitu gembira dengan acara ini, dan bayi tersebut seolah tak terusik dengan sekelilingnya.

Bayi itu anak teman gue yang akan segera menjalani prosesi potong rambut yang akan disaksikan oleh puluhan orang. Untuk menandakan bahwa orang tuanya bersyukur telah memiliki dirinya di dunia ini.

Acara yang mahal dan ribet, hemat gue.

Karena ini membuat banyak saudara jauh dan beberapa kenalan yang tidak enak hati datang untuk sesuatu yang bahkan person who become life at the party pun tidak sadar akan hal tersebut. Sepanjang acara tersebut sang bayi hanya tertidur pulas. Cuz he didn’t even ask for this kind of party. Trust me, keesokan harinya atau untuk seumur hidupnya mungkin peluang untuk mengingat ini semua sangatlah kecil.

Bahwa di masa lalu hidupnya di Sabtu sore di tahun 2017 saat Hollywood tengah diterpa skandal seksual para A-Listnya dengan Harvey Weinstein dan akhirnya tiga puluh ribu dokumen rahasia Amerika Serikat akan kejadian berdarah 65 di Indonesia dibuka untuk umum, di hari yang sama orang tuanya memotong dua kambing tak berdosa demi ritual adat yang diadopsi dari negara nun jauh di sana atas nama iman dan kelebihan uang.

Oh iya, jika dia perempuan hanya akan ada satu kambing yang akan disembelih untuknya.

Tapi apalah opini gue, gue cuma seorang tamu di kota asing yang datang untuk satu piring prasmanan dan beberapa sate kambing.

Acara berjalan khidmat, sahabat gue dan suaminya handle it nicely, meskipun ada beberapa momen yang bikin kagok karena mertuanya yang over dominated dan tanpa brief acara yang jelas.

Lagipula ini acara aqiqah pertama mereka. Jadi menurut gue wajar. Dan ketika ada ibu-ibu pengajian gengges yang sok ngatur, dengan judes gue jawab, “Relax, they know what they do. Just keep praying.”.

Gue hadir di sana, menyaksikan ritual tersebut hingga selesai. Mendokumentasikan segalanya. Faktanya bahkan dari mereka mulai berpacaran di tahun dua ribu sebelas. Enam tahun sudah gue mendokumentsikan hidup mereka. Kini mereka sudah menjadi orang tua.

Sahabat gue meminta untuk menggendong anaknya sebentar, I look at him, he still asleep. Hangat badannya menular di tangan, dan gue dapat melihat lubang kecil mulutnya saat menguap.

Processed with VSCO with 2 preset

Jujur, baby is not my thing. Dan menurut gue semua bayi sama aja, enggak ada yang lebih lucu dan enggak. Mungkin ada beberapa yang super lucu karena gen orang tuanya yang memang spesial. Namun semua bayi tetaplah sama. Mereka tak berdosa, seperti kanvas yang bersiap-siap untuk membuat gambar dan warna mereka sendiri di hidup mereka nanti.

Dan orang tua, dua orang yang akan begitu asing saat bayi itu menginjak remaja, dan akan bayi itu rindukan saat mereka dewasa nanti.

Hidup begitu lucu. Dan gue tanpa sadar ikut tersenyum saat tangan bayi tersebut menyentuh pipi gue. Matanya masih tertutup, namun ia dapat merasakan ada satu hati dingin yang menggendongnya.

Kita semua pernah berada di posisi bayi tersebut, menjadi tidak berdosa, tidak tahu apa-apa, dan melihat dunia dari mata kecil kita dan naifnya menelan bulat-bulat definisi orang tua kita.

Acara ini diisi begitu banyak doa dan panjatan puja puji akan harapan orang tua atas anak tersebut. Namun, apakah mereka akan mendengar harapan anak tersebut ketika nanti mereka bersebrangan?

Lamunan gue pun buyar saat orang tua sahabat gue datang menghampiri gue, kemudian gue pun memberikan kembali gendongan bayi tersebut.

Sebelum gue sempat permisi untuk keluar, Tante baik itu pun menanyakan suatu pertanyaan yang sekarang-sekarang ini gue malas untuk dengar. Bukan karena benci, namun ingin sekali bilang bahwa itu bukan urusan mereka.

“Kapan menyusul?”

Namun kali ini pertanyaannya bukan dalam bentuk kejahilan dan sindiran. Ada rasa tulus dari suaranya dan kekhawatiran yang murni ingin melihat gue berada di stage yang sama seperti sahabat gue.

Sayangnya, sebaik apa pun niat pertanyaan tersebut terlontar, gue masih tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bukan karena tidak ingin, namun rasa-rasanya gue tidak terlalu suka menjadikan semua adat, ritual agama, dan paradigma bias sosial mengikat gue.

Gue masih orang yang seperti itu. Dan tentu saja karena belum ada yang mau juga sama gue.

Biarlah, jawaban itu gue simpan sendiri. Gue berjalan menjauh dan memberikan senyuman sebagai tanda akan jawaban tersebut. Mereka yang mengenal gue pasti paham akan konsep gue tentang komitmen dan tetek bengeknya, mahal dan ribet.

Dan di umur gue yang sekarang, gue menyukai kesederhaan hidup gue. Gue cukup berbahagia dengan itu untungnya.

Gue masih teringat di tahun 2011 kala itu, sahabat gue sudah merencanakan detail masa depannya akan bagaimana ia menikah nanti, seperti apa acara ulang tahun anaknya. Dan satu persatu semua detail tersebut menjadi nyata.

Gue pun ikut berdoa juga, dalam doa di tahun 2011 itu, gue meminta atas apa yang gue punya di usia dua puluhan gue sekarang. Alhamdulilah semuanya pun sesuai dengan doa gue.

Gue tengah berada di kondisi saat gue bisa mencintai seseorang dengan begitu tulus dan tanpa syarat. Dan gue menemukannya, dalam diri gue sendiri.