Emotional Relation

emotion-brain-marketing-communication

A quick note sebelum pulang kerja, tadi baru saja saya dapat sharing insight data dari brandz. BrandZ is Millward Brown’s brand equity database. Doi yang biasa ngeluarin data list brand-brand kece apa aja yang ada di dunia. Termasuk Indonesia.

Dari 50 brand paling penting di Indonesia, secara garis besar perbankan masih menduduki peringkat atas, 7 perusahaan rokok masuk di dalamnya (yang kata doi, ini unik banget, karena cuma ada di Indonesia perusahan rokok bisa masuk daftar ini, dan ada 7 pula), kemudian bisnis FMCG.

Secara notabene 50 perusahaan tersebut adalah perusahaan dengan bisnis tertua yang memang sudah running sejak lama. Menarik bahwa ini mengukuhkan bahwa sebuah bisnis tidak hanya harus trending sesaat saja namun penting sekali untuk melihat sustainability-nya.

Kemudian, Brandz memaparkan learning point apa saja yang bisa didapatkan dari success story bisnis-bisnis tersebut.

Kurang lebihnya seperti ini:

1. Dalam sebuah brand penting sekali untuk memberikan meaning kepada customernya. Berikan alasan kuat mengapa orang-orang harus membeli/memakai brand tersebut dibanding yang lain.

2. A good story yang related dengan customer selalu berhasil membuat orang jatuh hati pada suatu brand. Dengan pendekatan personal yang menggugah hati akan membuat orang membeli/memakai brand tersebut.

3.  Buat sesuatu yang inovatif dan pesannya terkomunikasikan dengan baik pada customer.

4. Brand harus bisa meyakinkan customernya bahwa mereka akan memberikan banyak keuntungan pada penggunanya.

5. Bangun kepercayaan dan keamanan customer saat membeli/memakai produk dari brand.

6. Gimmick marketing yang kece dan berhasil membuat top of mind di banyak customer juga akan membuat sukses sebuah brand.

Dari situ saya berfikir bahwa kunci dari kesuksesan sebuah brand adalah bagaimana sebuah brand berhasil menggaet customer dengan emotional relation. Karena pendekatan yang dipakai tidak lagi berbasis ekonomi, tapi personal. Di mana mereka diperlakukan bukan lagi sebagai outsider yang diambil uangnya, melainkan sebagai seorang keluarga yang menjadi bagian dari brand itu sendiri.

Pelajaran penting sekali hari ini, bahwa mau secanggih apa pun brand secara teknologi. Peran komunikasi, story telling, dan customer service menjadi vital. Karena di sanalah kunci untuk membangun koneksi dan kepercayaan seseorang yang pada akhirnya akan memutuskan untuk membeli/memakai brand kita nantinya.

Pahitnya Kolom Komentar

d54ab10f6ef5d9b8f8b209386f0effdd4ac9364f_hq.gif

Untuk saya yang bekerja di dunia digital, khususnya di social media. Bukan hal asing untuk menghabiskan waktu berjam-jam mengamati tren terkini di berbagai kanal media sosial. Penting untuk saya mengikuti perkembangan akan suatu berita maupun kasus yang akhirnya diperbincangkan oleh banyak orang, yang kini kemudian disebut viral dan berakhir menjadi suatu meme. Kebanyakan lucu tapi sayangnya lama-lama jadi hilang lucunya dan cenderung cringe.

Menarik sekali bahwa media sosial yang tadinya berfungsi sebagai pelarian dari kehidupan nyata. Literally untuk bersenang-senang mulai dari sarana berkomunikasi dengan teman yang sudah lama tak bertemu, tempat rentetan update status akan curahan hati terkini, pamer album foto-foto liburan, dan yang lagi tren sebagai tempat jualan “PO NYA KAKA”.

Mendadak berevolusi menjadi arena untuk menyebarkan hate speech dan hoax (berita tidak benar).

Mengapa kita semua sampai di titik seperti ini?

Saya tidak punya teori khusus, secara bebas saya pribadi berpendapat bahwasanya fenomena ini terjadi karena pada dasarnya people love attention. Pun media sosial hadir atas dasar itu.

Karena di media sosial kita bisa secara langsung mengukur respon dan sentimen seseorang akan berita/kabar tertentu dengan cepat. Sekali posting, dalam detik berikutnya kita dapat mengetahui siapa saja yang menyukai posting tersebut. Orang berkomentar apa, dan sebagainya. Muncul lah efek endorphin atau sensasi menyenangkan yang membuat ketagihan.

Itu sebabnya media sosial membuat orang haus dan berlomba-lomba mendapatkan like, share, dan komentar dari banyak orang. Atensi atau caper akan popularitas semu itulah yang mendorong impian terpendam seseorang menjadi selebritas, kini bisa tersalurkan di media sosial. Dalam dunia media sosial, orang bebas untuk menjadi apa pun.

Kebebasan itulah yang terkadang membuat media sosial menjadi tidak terfilter. Pola yang terdahulu di mana seseorang mencari berita/kabar terkini, sekarang berganti menjadi berita/kabar yang mendatangi seseorang. Pada akhirnya kita mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita tau.

Di sanalah, ranah publik dan privat menjadi bias, bahkan cenderung hilang.

Karena orang-orang berfikir yang sudah ada di linimasa adalah sesuatu yang bersifat umum. Fenomena itu yang kini membuat kolom komentar menjadi ladang bebas kebanyakan orang yang merasa ‘memiliki hak’ berpendapat akan apa pun yang muncul di lini masa mereka. Orang-orang di media sosial kini tak lagi menghargai privasi seseorang, dalam bentuk apa pun.

Padahal, tidak semua orang butuh pendapat kita. Iya kita, saya dan kamu.

Bukan berarti kita punya akses ke orang-orang yang ga kita kenal, kita bisa leluasa berkomentar apa pun. Manner please.

Kolom komentar saat ini kebanyakan disesaki oleh  keganasan, kebengisan, dan kebebalan dari kepribadian seseorang dalam bentuk kata-kata. Kesopanan dalam berkomunikasi pun seolah tidak diperlukan, karena mungkin mereka berfikir; ‘Ini online juga, enggak tatap langsung, enggak akan ketemu orangnya juga.’

Alih-alih berpendapat sesuai konteks, kebanyakan orang cenderung untuk menyerang secara SARA, body shaming, dan jumping into conclusion. Logical fallacy atau kesalahan berfikir kerap kali ditemukan pada tiap topik yang memang membutuhkan analisis tajam dan referensi lebih. Dengan berbekal googling saja, mendadak orang-orang bertransformasi menjadi polisi moral, ahli kitab, dan kompeten akan banyak hal.

Sampai ya, kadang kita bisa melihat orang-orang dibalik akun anonim bisa memberikan komentar paling keji yang ga pernah terpikirkan untuk bisa terucap di dunia nyata. Mereka galak-galak, judgmental, dan kadang berasa sempurna karena komentar fisiknya seolah mereka NAOMI CHAMPBELL. Padahal mah.. pret.

Tapi tetap saja jika mau diladeni di dunia nyata, biasanya mereka ciut sendiri kemudian minta maaf sambil sedih karena khilaf.

Dengan dorongan dan modal pemikiran, akun aing terserah aing. Seseorang lupa bahwa, aktivitas yang terjadi di media sosial tak ubahnya apa yang terjadi di dunia nyata. Bentuk komunikasi dalam bentuk unggahan foto, komentar, update status yang menyinggung seseorang, it is still hurt people. Luka tetaplah luka.

Maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa, kolam komentar adalah gambaran tergelap kepribadian seseorang. Karena jika ingin melihat hilangnya kemanusiaan dalam diri manusia, kolom komentar bisa jadi referensi terkini akan situasi tersebut.

Rentetan akan kebebasan berpendapat yang kebablasan dan atensi banal berlebih dari banyak orang, yang menurut saya membuat hate speech dan hoax menjadi subur berkeliaran menjadi viral di media sosial saat ini.

Saya teringat wawancara Kris Jenner di E! Online di suatu waktu, dia pernah bilang kurang lebihnya: ‘Di saat sekarang, berikan seseorang keyboard, dan mereka bisa membuat ucapan paling mengerikan di dunia ini.’

I’m not a big fan of Kardashian family, tapi kali ini saya mengamini apa yang Kris Jenner ucapkan. Mungkin itu adalah gambaran terdekat dari realitas kehidupan masyarakat online saat ini.

Penyakit Berbahaya di Kota Jakarta

1-atv9dwym3lfhvopexkjy5g

Di siang itu, saya sedang merokok sambil menyesap kopi bersama Thalia. Kami sedang meng-supervise acara kantor. Tepatnya kantor saya memakai jasa kantor Thalia (she’s working in a Radio station) untuk membuat event ke kantor-kantor. Untuk mengenalkan aplikasi kantor saya ke banyak pengguna.

Sesaat setelah acara selesai, kami duduk di pinggir kantin sambil mengipas asap dan rasa gerah yang mampir. Entah kenapa, mungkin karena lelah, atau karena memang gajian masih lama. Saya dan Thalia mulai berkontemplasi. Yang mana tidak jauh-jauh tentang masalah hati.

Thalia, yang tahun ini menginjak umur dua puluh delapan tahun sedang memikirkan nasibnya tahun depan. Sang kekasih yang sudah ia pacari selama delapan tahun mengajaknya menikah.

Siapa yang tidak ingin menikah?

Tapi masalahnya, Thalia masih tidak yakin dengan capability sang kekasih. Hubungannya yang putus-nyambung, dan percikan romansa di keduanya sudah tak lagi ia rasakan. Those things, adalah pertimbangan yang sangat ia pikirkan masak-masak. Pun, kini ia sedang sangat menikmati ke-independenannya. Baik secara finansial maupun secara jasmani.

“Perasaan nyaman itu telah lama hilang,” ucapnya pelan sambil menghebuskan asap rokok dari mulutnya.

“Tapi setidaknya, elo aman, there’s someone who wants you,” ujar saya seperti selayaknya jomblo tak berharga.

“Is it?” tanyanya tak yakin.

Kami pun kembali dengan khayalan di kepala masing-masing.

“Sebenarnya kenapa sih hidup harus banget pakai sistem normatif segala. Secara biologis, kita kan cuma diciptakan untuk; makan, tidur, dan having sex. Term having sex pun di sini untuk berkembang biak. Konsep menikah dll, yang sifatnya mengikat itu kan manusia yang buat. Enggak semua orang bisa berhasil dengan yang namanya komitmen loh. Capek banget ngikutin apa yang selalu orang lain anggep benar buat mereka. Padahal sebenarnya belum tentu berhasil untuk gue atau elo kan.”

“Dan padahal, alasan mengapa di umur segini belum berpasangan, bukan berarti kita enggak laku ya. Ya karena emang kita selektif dong ya. Nikah kan katanya sekali seumur hidup. Kalau ngasal milihnya, ya nanti bisa enggak enak setelahnya. Sudah susah milihnya, diburu-buru pula olah para netizen.”

“Lagipula, buat gue dan beberapa teman gue, di era yang sekarang kebanyakan dari perempuan sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri. Mereka punya pekerjaan yang mampu membiayai mereka secara finansial. Mereka happy dengan teman-teman mereka. Dan kehadiran laki-laki di antaranya ya sebatas pelangkap. Bukan lagi tujuan utama. Dan sebagaimana makna komplementer, itu bukan sesuatu yang harus dikejar banget. Ya itu akan datang sendirinya, di waktu yang tepat, atau kasus di sini, dengan orang yang tepat. And we cant define kata ‘tepat’ itu dengan terburu-buru.”

Saya pun mengangguk setuju. Mengamini setiap kata yang keluar dari mulut Thalia.

“Back to my home ya, Jem. Di umur gue yang sekarang dan belum menikah, mereka dijodohin loh. Terus nikah aja gitu. Enggak nanya anaknya mau apa enggak. Untuk beberapa yang keluarganya ortodoks, melihat anaknya yang belum menikah tuh sebagai aib.”

Saya sedikit terkejut dengan informasi yang diberikan Thalia.

“Enggak bisa apa ya, manusia di Indonesia ini punya kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri?”

Saya hanya terdiam, untuk yang ini saya tidak memiliki jawabannya. Karena pada kenyataannya, sampai manusia itu mati. Tuntutan dan segala macam peraturan masih menempel dalam diri mereka.

Jauh dalam hatinya, sebenarnya Thalia masih merindukan seseorang yang bisa membuatnya bahagia meskipun itu berarti dia harus membohongi dirinya. Karena seseorang tersebut selalu muncul di saat yang selalu salah.

Sedang saya, masih takut untuk membuka hati yang sudah tertutup lama ini. Perasaan ditolak dan tak diinginkan adalah hal terakhir yang saya ingin miliki di umur seperti ini.

Seusai batang rokok terakhir kami, melihat pekerjaan yang masih menumpuk hingga akhir pekan, kami pun memutuskan untuk menyudahi kontemplasi kami.

Saya pun berpamitan pulang, dan langsung naik ke dalam taxi.

Di dalam taxi, saya masih memikirkan apa yang sebenarnya salah dalam diri saya ataupun Thalia dalam perihal komitmen ini.

Mengapa begitu sulit bagi kami untuk bisa bertahan dalam satu hubungan?

Atau mengapa kami selalu mendapatkan orang yang salah, atau berada di waktu yang salah?

Thalia pernah bilang, seharusnya kami memiliki kebebasan. Namun, apa artinya kebebasan jika tak lagi membebaskan?

Saya terdiam di situ. Meraba-raba jawaban yang entah ada di mana.

Lima belas menit taxi yang tak bergerak. Saya melihat aplikasi Waze di handphone, dan warna merah terselip sepanjang perjalanan menuju kantor.

Well, di Jakarta yang katanya dipenuhi lebih dari jutaan orang ini. Yang selalu macet. Di kota sebesar ini, entah mengapa, saat duduk memandang keluar dari dalam taxi. Saya merasa seperti orang paling kesepian.

Saya dan Thalia, we are just two lonely people who trapped in Jakarta. Maybe this time, kami sudah membutuhkan seseorang untuk membebaskan kami dari ini semua.

The Biggest Problem of Modern People

1-djdiSQjlcc9nGIgw18aqPg.jpeg

Menurut saya akar permasalahan yang sering terjadi di dunia modern saat ini adalah gagalnya komunikasi satu sama lain.

Baik itu dalam skala personal maupun profesional. Komunikasi diganyang sebagai suatu issue yang menghambat performa seseorang maupun dalam kesatuan tim.

Dasarnya komunikasi adalah jalinan umpan balik, a conversation antara satu orang dengan yang lain dengan membawa satu pesan yang akhirnya sama-sama dipahami.

It is about how you delivere the message.

Namun terkadang, skill komunikasi seseorang terhambat pada keengganan seseorang untuk mengolah pesan terlebih dulu. Ada ego sebesar bulan yang membuat mereka merasa superior dibanding lawan bicaranya.

Alih-alih memahami, kebanyakan orang memilih berkoar paling keras seolah dia yang paling paham sabab musababnya. Parahnya lagi, paling tahu solusinya. Dan cacatnya logika pun semakin subur keluar dari mulutnya.

Skema sederhananya, mulut mereka terbuka lebih dulu sebelum otak mereka berfikir.

Menurut saya, di situlah di mana kebodohan itu hadir. Ketika tidak ada satu pun saraf dalam otak manusia tersebut berupaya untuk menghela nafas sejenak, for one or two second, kemudian membaca ulang pesan yang ia dapatkan, mencernanya then comes up dengan buah fikiran berupa pilihan respon terbaik apa yang dapat mereka utarakan.

Karena some people say, mulutmu harimaumu. Sekali berucap, you can’t take back your word, it is include your stupidity.

Saya menulis ini bukan karena saya peduli dengan skill komunikasi satu orang — I’m pointed to someone who was bumped into me with a zero skill of communication and shouted toward me like that person knows how to deal the problem. Instead solve the issue, that person just shows how stupid that person can be.

Dalam seni komunikasi pun diajarkan agar kita lebih banyak mendengar dibanding berbicara. Karena dengan mendengar tanpa terburu-buru merespon seseorang, kita dapat mengetahui sebuah informasi baru. Di kasus ini adalah, kebodohan seseorang.

You can laughed afterwards, right on that person face or some secret chat room.

Setidaknya saya belajar sesuatu hari itu, dalam terjalinnya komunikasi ada kalanya lebih baik kita diam dan mengalah. Membiarkan imajinasi tumpul seseorang mengokoh dan menjelma menjadi stupa kebodohan yang menjeratnya dalam suatu kebiasan.

THE 7 HABITS OF HIGHLY EFFECTIVE PEOPLE BY STEPHEN COVEY

the_7_habits_of_highly_effective_people

Bos gue sering banget share link atau video keren tentang hal yang dapat memotivasi gue sebagai karyawannya. Baik itu improving secara teknis, maupun as a person. Karena gue suka baca, I found this is very useful for me.

Kali ini dia share tentang 7 kebiasan yang akan membuat seseorang menjadi lebih efektif. I’ll share to you guys. Kalian bisa cek di sini untuk video komplitnya -> https://www.youtube.com/watch?v=ktl…

Nah, video ini ngejawab banget tindakan apa yang harus gue lakukan untuk berhasil dalam menyelesaikan suatu masalah pribadi maupun dalam pekerjaan. Dan personally buat gue, ini berhasil membuat gue untuk lebih chill jika ada masalah menghadang.

Karena harus gue akui, as a control freak. Gue bisa rese’ dan down banget ketika gue gagal dalam mengontrol hal yang gue pikir bisa gue kontrol dan selesaikan dengan baik. Masih mending jika berhasil. Lah, kalau gagal? Perasaan destruktif akan menghantui gue sampai ke mimpi.

Nah, video ini ngejawab banget tindakan apa yang harus gue lakukan misalkan gue ingin berhasil dalam menyelesaikan suatu masalah pribadi maupun dalam pekerjaan.

Pertama, Be a proactive.

Di video itu dijelaskan bahwa reaksi wajar seseorang ketika mengalami perubahan dan mengakibatkan kegagalan dalam dirinya adalah complaining. Tapi yang membuat complaining itu salah, adalah ketika kita hanya berfokus pada menyalahkan hal jelek yang terjadi dalam diri kita ke orang lain, dibanding berusaha untuk memperbaiki apa yang dapat kita lakukan dalam masalah tersebut. Fair enough dong. Daripada energi kita habis untuk mengutuki orang lain, lebih baik mencari solusi dan keluar dari masalah.

Kedua, Begin with the end of mind.

Ini penting banget menurut gue, karena ini masalah attitude dalam karakter dan kualitas seseorang. Ada jenis orang yang ia bicarakan berbeda dengan apa yang ia kerjakan. Lalu, ada juga tipe orang yang memang sinergis antara apa yang ia bicarakan dan lakukan. Dan itu memang sesuatu yang tidak mudah.

Di video tersebut dicontohkan bahwa, banyak dari kita ingin sehat, instead ke gym kita lebih memilih untuk bersantai di rumah (ini gue banget sih). Kenapa itu terjadi? Karena kegagalan diri kita untuk melihat sosok seperti apa yang ingin kia lihat dalam diri sendiri.

Ketiga, Put first thing first.

Ini penting. Karena jika kita sudah stick pada will kita, maka dalam perbuatan biasanya akan sama. Dan be consistent with it. Membuat prioritas adalah hal paling utama di sini. Thats my friend, is the hardest part. Maka ada baiknya, kita sudah tau untuk menjadi apa diri kita nantinya, dan mentransformasikan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Jika elo ingin diingat sebagai Ayah dan Suami yang baik, tindakan yang elo harus lakukan, haruslah mencermikan sikap Ayah dan Suami yang baik.

Keempat, Think win-win.

Dalam video tersebut dijelaskan bahwasanya strategi dalam mencapai kesuksesan, tidak melulu tentang mengeleminasi seseorang. Dengan bersikap positif dalam kompetisi dan tetap mengedepankan kualitas diri sendiri, merupakan cara yang gentlemen untuk memenangkan pertandingan.

Ini tamparan buat gue sih, karena gue anaknya nyinyir parah. Kalau ada film atau novel bagus yang enggak satu selera sama gue, gue bakal bereaksi seperti: “Dih, apa sih isi ceritanya begitu doang. Ngabisin waktu tau enggak sih baca/nonton itu. Logika ceritaya ngaco!”

Hahaha berasa paling jago sedunia. Padahal, itu semua salah. Karena dari video tersebut, when you do good, good thing always follow.

Kelima, Seek first to understand, then to be understood.

Never complaint, no one cares with your hard work. Let your success speak louder. Period. Fokuskan pada pengembangan diri ataupun pekerjaan yang dapat memberikan value lebih ke orang lain.

Keenam, Synergize.

Basi sih, tapi kadang ini bisa ngebantu banget. Dengan melakukan bersama-sama, semua hal jadi terasa lebih mudah. Dan memang tidak bisa dilakukan dengan banyak orang. But, at least, elo tau, dengan bekerjasama dengan orang yang tepat. Elo bisa dapat lebih banyak dari yang elo mau.

Ketujuh, Sharpen the saw.

Ini langkah paling penting menurut gue dari kesemuanya. Semua hal, baik itu masalah, kemampuan, apa pun itu. Akan jadi lebih mudah dan elo bisa jadi lebih jago, jika kita terus mengasahnya bukan?

Kurang lebih pelajaran ini yang gue dapatkan dari melihat video tersebut. I haven’t read the book, yet. Tapi gue merasakan sensasi yang berbeda setelah menontonnya berulang-ulang. Gue sekarang tau bahwasanya, terkadang dalam mencapai sesuatu elo tidak hanya membutuhkan tenaga dan semangat. Namun juga strategi. Dan kadang dalam strategi tersebut elo butuh untuk mengenal diri elo sendiri dan kemampuan yang elo punya.

Karena dengan elo memiliki itu semua, elo bisa dapetin apa yang elo mau. Some people say, when you can defeat your ego, thats the day when you win something.

Hope it helps!