Review Film – Heart Attack ห้ามป่วย, Memaknai Ulang “Hidup Untuk Makan, atau Makan Untuk Hidup”

freelance

Di sebuah pantai, saat matahari hampir tenggelam dengan sempurna, Yoon menatap ke sampingnya dengan penuh rasa heran. Bertanya-tanya atas apa yang tengah ia saksikan. Dari tempatnya duduk sekarang, ia melihat dengan jelas seseorang yang dengan santai tertidur pulas berjam-jam di pinggir pantai tanpa melakukan apa pun. Perasaan bingung menghinggapinya, proverb Italia tentang the pleasure of doing nothing seolah tidak terintegrasi dalam dna Yoon.

‘Apa ia tidak khawatir dengan waktunya yang terbuang sia-sia? Apa ia tidak memiliki pekerjaan yang menunggunya?’ pikiran itu melayang-melayang dalam benak Yoon, meninggalkan lebih banyak pertanyaan lagi, yang kini ia tanyakan pada dirinya sendiri.

Mana yang lebih benar untuk dilakukan. Bersantai seperti ini di pinggir pantai sambil menyaksikan seseorang yang asik tertidur pulas atau pulang dan kembali ke kamarnya lalu menyelesaikan editan fotonya yang masih tersisa?

Kurang lebih monolog seperti itu yang akan dirasakan saat menonton film Thailand berdurasi dua jam lebih ini. Sebuah kisah pergulatan akan kehidupan seorang freelancer Graphic Designer bernama Yoon dalam usaha memaknai ulang kehidupannya.

Cerita dimulai saat semua dalam hidup Yoon berjalan baik-baik saja. Ia memiliki pekerjaan yang ia suka, gelar master design yang dielu-elukan banyak orang, atau sesederhana ketika ia tanpa was-was bisa menikmati makanan Thai Shrimp 7-11 favoritnya.

Namun semua berubah sampai penyakit alergi menginfeksinya dan memaksanya untuk berobat ke rumah sakit umum. Karena bekerja sebagai seorang freelancer, Yoon tidak memiliki asuransi kesehatan seperti kebanyakan pekerja swasta pada umumnya.

Di rumah sakit umum tersebut ia bertemu dengan dokter Im. Dokter muda cantik yang bersemangat untuk mengobatinya. Siapa sangka, pertemuan dengan dokter Im merupakan satu dari banyak turbulansi dalam hidup Yoon.

Dengan sederet obat antibiotik dan pantangan yang bertentangan dengan gaya hidup Yoon sebagai seorang candu kerja. Ia merasa apa yang dokter Im pinta adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Padahal yang dokter Im pinta hanya Yoon untuk tidur tidak lebih dari jam sembilan malam. Alih-alih beristirahat, Yoon malah mengambil lebih banyak pekerjaan yang membuatnya bekerja lebih larut lagi.

Kadung penyakitnya tidak berangsur sembuh, kondisi Yoon malah semakin parah. Alergi ditubuhnya makin menghasilkan ruam yang bertambah banyak. Mengharuskannya untuk check-up rutin ke rumah sakit setiap bulan.

Dokter Im yang hampir putus asa dengan ketidakberubahan dalam perilaku Yoon, juga hasrat sebagai pembuktian seorang dokter muda akhirnya membuatnya dengan tulus meminta Yoon untuk lebih memperhatikan kehidupannya yang hanya datang satu kali ini. Dan mengajak Yoon untuk bersama-sama menjadi partner untuk bisa melawan penyakitnya.

Perhatian dokter Im perlahan mecairkan sisi manusia dalam diri Yoon yang sudah lama tertutup oleh layar komputer dan deadline.

Akhirnya, mana yang akan Yoon pilih. Berusaha untuk sembuh namun mengorbankan karirnya atau tetap bekerja seperti orang gila dan meresikokan nyawanya?

Jawaban dari pertanyaan itu dengan cerdas digiring oleh sang sutradara ke banyak adegan-adegan yang memperlihatkan pergolakan dalam diri Yoon. Isu akan kerasnya lingkungan dan etos bekerja para freelancer ditampilkan dengan apik dalam film ini. Seperti dalam banyak adegan di mana Yoon dan Je membopong-bopong iMac ke mana-mana. Atau dengan komikalnya saat Yoon berkunjung ke pemakaman Ayah temannya dan ia menanyakan password wifi di kuil tersebut untuk mengirim file design client. Seolah merangkum pola freelancer graphic designer pada kesehariannya.

Tidak hanya sukses menampilkan dark comedy yang pekat tentang makna tujuan bekerja. Film ini pun dengan luwesnya memberikan aksen romantis yang tidak berlebihan di antara Yoon dan dokter Im. Setelah tiga puluh menit berlalu, ruang periksa dokter yang sempit dan tidak menarik di awal film itu pun mendadak berubah menjadi romantis. Warna putih dan gerakan one handy cam menjadi sinematografis yang membuat penonton berdegup sendu dan biru.

Gerak-gerik malu-malu masing-masing karakter dibawakan dengan sempurna, ditambah percakapan yang mengalir natural antara Yoon dan dokter Im membawa penonton jatuh cinta dan ikut bersemangat untuk melihat setiap kedatangan Yoon ke rumah sakit tiap bulannya.

Konflik dalam film ini pun terasa tepat dan tidak dipaksakan, when people fall in love, they are doing stupid things. Termasuk Yoon. Yoon menggantikan perasaan patah hatinya dengan bekerja tanpa kenal waktu, yang akhirnya membawa penyakit alergi ke tubuhnya lebih parah lagi.

Scene favorit saya adalah ketika di akhir film Yoon merancang pemakamannya sendiri di saat kondisi koma. Ia memutar ulang kembali makna orang-orang terdekat dalam hidupnya. Keraguan untuk memilih mati atau melanjutkan hidupnya lagi divisualisasikan dengan baik dalam flash back gerakan slow motion tiap-tiap pemain. Seolah, penonton dibawa untuk merasakan kesendirian, kehampaan dan kepasrahan Yoon dalam menyambut kematian yang telah lama ia nantikan.

Film ini tidak hanya berhasil menghadirkan character driven yang kuat, tapi juga narasi dan dialog yang solid. Seolah film ini tidak hanya menyembuhkan keterasingan Yoon dalam menikmati indahnya hidup.

Di film ini pun dengan cerkas menyadarkan banyak orang yang telah lama tertidur dalam tumpukan pekerjaan dan lupa akan menikmati serunya sekadar bermain badminton di malam hari atau berjam-jam bersandar pada gumpalan pasir untuk memandang matahari tenggelam tanpa melakukan apa pun.

Tidak ada klise romantic comedy khas Hollywood, ini hanya kisah romantis seseorang yang tidak sengaja jatuh cinta di rumah sakit umum biasa. Tanpa pretensi berlebihan, dan seks yang bombatis. Semua sesederhana itu.

Film ini berhasil memotret kisah hidup kaum urban kreatif yang mengagungkan pekerjaan dan terkadang melupakan esensi hidup itu sendiri. Kesepian di kota besar, ketumpulan relasi sosial akan sesama manusia, juga tekanan pekerjaan setiap harinya hadir menjadi poin cerita yang membuat penonton betah duduk selama dua jam untuk mengetahui ending dari kisah Yoon.

Dan film ini pun membuktikan, space of romance masih dibutuhkan dalam kehidupan siapa pun.

Empat dari lima bintang untuk film Thailand satu ini. Fim ini pun wajib ditonton oleh para pekerja kreatif yang ada di lingkungan agency ataupun freelance. Karena keterdekatan relasi film dengan mereka yang setiap harinya berjibaku dengan revisi, deadline yang ketat, dan permintaan klien yang tidak masuk akal.

Dan bonusnya, ada satu lagu bagus yang dapat merepresentasikan kisah sendu seorang penyendiri yang menyibukkan diri dalam bekerja.

Selamat menikmati filmnya 🙂

 

Leave a comment