Kali Ini Tentang Berjalan Maju

Akhirnya sampai juga pada satu persimpangan jalan yang tidak membutuhkan saya, kamu, untuk berkongsi dalam basa basi yang kelewat basi.

Bayangkan dirimu sedang berada dalam ruangan klinik kecantikan yang semuanya berwarna putih pucat dengan diiringi musik klasik yang kamu tidak tahu siapa komposernya. Namun untungnya musiknya cukup bisa membuatmu tenang barang satu dua detik karena seorang dokter kini tengah memasukkan jarum berukuran cukup mengintimidasi ke dalam lapisan dalam kulit mukamu dengan penuh semangat. Tentu saja baiknya kamu memejamkan mata. Karena berkali-kali perawat di sampingmu yang sedari tadi memupuk-mupuk pundakmu yang entah apa fungsinya terus menerus menyuruhmu menarik nafas panjang-panjang.

Sebelum tindakan masokis yang tadi diceritakan, empat puluh lima menit sebelumnya perawat tersebut sudah memberikan anastesi pada wajahmu agar rasa sakit tidak terlalu begitu menyiksa. Meskipun seperti yang kita tahu, rasa sakit itu tetap ada. Kamu masih bisa merasakan dinginnya jarum dan perihnya obat yang dihempaskan ke dalam epidermismu.

Like everyone said, beauty is pain. Surely this one is painful. Reka adegan dalam cerita ini adalah salah satu treatment bernama PRP (platelet-rich plasma). Di mana sang dokter memasukkan serum darah atau salmon DNA langsung ke dalam kulit wajah dengan harapan dapat merangsang bopeng-bopeng pada wajah pasien bisa naik sedikit dan meratakan tekstur kulitnya kembali.

Sudah dua tahun saya rajin melakukan treatment ini. Harganya cukup membuat saya puasa barang seminggu dua minggu. Tapi, hasilnya lumayan sih. Muka saya yang awalnya kusem dan seperti jalanan Lampung yang viral itu, sekarang sudah mayan deh. Meski ga cakep-cakep amat, tapi ya sudah saya nawaitu saja berinvestasi demi kesehatan kulit yang lebih baik.

Setiap proses micro needle dan adegan subsisi dilakukan, saya selalu berusaha memusatkan pikiran pada satu memori yang membuat saya merasa bahagia. Tapi kadang usaha tersebut sia-sia. Karena yang ada saya hanya tertawa cekikian dan malah membuat saya melihat jarum besar tadi dekat wajah. Jiper dong.

Maka, seperti yang diajarkan oleh metode mindfuleness di Youtube dan Podcast yang sering saya dengar. Saya belajar untuk menerima rasa sakit itu. Rasa sakit yang seorang teman pernah bilang pada saya, yang selalu saya cari-cari sendiri. Dan entah mengapa memang rasa sakit selalu membuat saya penasaran dan ketagihan.

Kembali pada adegan jarum yang sedang meradang di wajah saya yang didorong lebih jauh oleh sang dokter. Saya mencoba melatih pikiran saya untuk menolak rasa sakit yang kentara itu. Saya ulang berkali-kali ke alam bawah pikiran saya bahwa saya yang memiliki kendali penuh.

Sayangnya, ketika mengalihkan rasa sakit jarum tadi, sekonyong-konyongnya kepala ini dibawa ke dalam memori yang sudah tidak ingin saya lihat.

Secara autopilot otak ini membawa pada perjalanan masa lalu yang begitu usang. Scene saya yang sedang mengemis pada satu orang dengan begitu menyedihkannya. Kok ada ya orang yang begitu bodohnya mau melakukan itu? Membuat saya yang menontonnya ingin bergerak maju untuk menutup itu semua. Mencabik layar panjang yang seharusnya dari awal tidak ada. Kali ini perasaan sakit tadi berganti menjadi perasaan baru yang tidak pernah muncul sebelumnya. Perasaan ini bernama marah.

Marah yang saya yakin tidak pernah saya sampaikan secara langsung pada orang yang seharusnya mengetahui bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah jahat. Dan tidak seharusnya saya melalui itu semua.

Badan saya begitu kaku, sampai suara dokter di luar memori ini menyadarkan saya untuk lebih rileks.

“Ambil nafas ya, pelan-pelan, lalu buang. Tiga kali ya seperti itu.”

Saya mengambil nafas panjang yang disuruh oleh dokter tadi dan kembali bersisian dengan si marah tadi.

“Hei, maneh! Gelut sini ku urang,” seru saya dalam bahasa Perancis.

Orang di memori itu hanya melihat saya tanpa bergerak sedikit pun.

“Kenapa diam saja? Kamu tau ga di luar sana kamu sudah jahat banget sama saya? Kamu pergi pas saya lagi sayang-sayangnya. Kamu pergi tanpa ngejelasin kenapa ini semua berakhir?” saya menyerocos dengan geram.

“Saya ga pernah bilang ini adalah sesuatu. Kamu yang selalu membuat ini jadi lebih dari mana yang seharusnya. Kamu harus melepaskan ini semua,” sesosok aneh namun cakep itu tiba-tiba berbicara.

“Ga usah ngajarin, jiga kitu aing ge ngarti. What I hate is, why don’t you say something? Why do you just leave like nothing happened?” Saya lebih ngotot lagi.

“Karena memang saya jahat. Dan kamu seharusnya tahu lebih awal. Kamu sudah puas?”

“Ga gini. Masa nyerah gitu aja?” Saya menahan perasaan aneh baru lagi yang membuat saya ingin mendorong dokter dan perawat itu pergi.

“Karena ini terlalu lama, dan kamu seharusnya sudah baik-baik saja.”

Satu sosok itu pun pergi, percakapan imajiner itu selesai. Dan perasaan marah tadi berubah menjadi rasa sedih yang pahit.

Dokter itu semakin dalam menekan jarumnya dan meminta maaf jika kali ini terasa sakit sekali karena bopeng di wajah kanan saya yang begitu dalam.

Saya tidak lagi memejamkan mata saya, pikiran saya begitu bulat dan penuh atas kondisi yang detik ini sedang terjadi. Saya secara sadar dapat melihat dua orang tenaga medis yang sedang membantu saya untuk memiliki kulit yang lebih baik.

“Sakit?” dokter itu bertanya lembut.

Saya pun mengangguk dan tiga menit kemudian treatment ini selesai dengan saya yang menghadapi jarum-jarum itu dengan kondisi sadar.

Memegang rasa sakit begitu lama ternyata tidak membuat saya semakin kuat. Yang saya lupa adalah saya harus bisa mengakhirinya. Karena nantinya akan lebih banyak rasa sakit baru yang menunggu. Hehe aja dulu.

Seperti yang Reza Chandika sering gaungkan tentang filosofi rasa sakit yang saya suka.

Hadapi, jangan lari.

Anehnya setelah selesai menuliskan ini semua, perasaan marah dan sedih itu pun ikut hilang.

Sweetest Goodbye

Berkali-kali mengalami perpisahan ternyata tidak membuat gue lebih baik dalam menghadapi perpisahan itu sendiri. Terlebih ketika perpisahan itu berbalut senyuman paling manis yang pernah gue lihat, kata-kata penutup yang indah dan menghangatkan, juga ucapan semoga dapat bertemu kembali yang gue tau ga akan pernah terjadi.

Kesemuanya menjadi kombinasi maut yang membuat siapa pun percaya bahwa “perpisahan baik-baik” masih tetap lebih baik daripada berakhir dengan kebencian dan rasa marah.

Tapi enggak bangsat, semuanya tetap terasa menyakitkan. Titik.

Apalagi jika perpisahan itu tidak pernah berada dalam plan timeline terdekat elo. Semua terasa begitu cepat, terburu-buru, dan tak terelakan.

Rasa sakit yang tadinya biasa saja kemudian menjadi pahit yang menyesakkan keesokan harinya. Ketika gue baru menyadari bahwa gue benar-benar tidak dapat bertemu dengan dia lagi dalam bentuk apa pun.

Segala hal tentang, “masih ada hari besok lagi kok”, “see you later”, dan “yaudah nanti aja ya ngobrolnya” menjadi begitu berjarak dan jauh.

Sangat jauh sampai menyadarkan gue bahwa empat bulan lalu kami berdua hanya dua orang asing berbeda negara yang God knows tidak akan ada irisan apa pun yang bisa membuat kami bertemu.

Namun gue beruntung, akhirnya kami bertemu. Dia si orang asing yang tiba-tiba menjadi sosok sentral dan alasan gue untuk dapat tersenyum penuh sepanjang empat bulan ini. Then jokes on me, dalam hitungan ga sampai lima menit kami pun berpisah dan kembali menjadi orang asing lagi.

Semua terjadi di saat gue masih belum tau banyak tentang dirinya, sebaliknya pun dirinya. Dia masih jadi sosok yang ingin gue lengkapi informasinya hari demi hari. Dengan begitu semangat dan penuh haru biru.

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin gue tanyakan, masih banyak senyuman yang ingin gue lihat tiap harinya dari wajahnya, masih banyak hal yang ingin gue bagi dengan dirinya meski itu selalu bertabrakan dengan perbedaan bahasa.

Tapi semuanya adalah momen-momen terbahagia yang bisa gue punya di tengah hidup gue yang kayak taik ini.

Bersama dia gue ga pernah merasa bahwa gue ga cukup “good looking” untuk bisa berbagi nafas yang sama dengan dia. Bersama dia, gue ga pernah dibuat bertanya-tanya soal sikapnya ke gue, dia selalu jelas dengan apa yang dia lakukan. Bersama dia, dengan caranya dia, ketika gue berbuat salah dia ga akan pernah merendahkan gue atau apa pun. Dia hanya akan menjelaskan semuanya dengan baik-baik saja.

Tidak pernah ada yang lebih baik dari dia di hidup gue.

Tanpa gue sadari dengan semua itu akhirnya membuat perpisahan baik-baik ini lebih menyakitkan dari perpisahan terburuk yang pernah gue alami sebelumnya. Karena di perpisahan kali ini tidak ada lagi tokoh jahat yang bisa membuat gue membenci dirinya dan akhirnya melupakannya.

Kali ini, dia si sosok paling sempurna yang pernah gue temui, dan akhirnya harus pergi dari hidup gue yang nelangsa ini. Meninggalkan ruang kosong yang begitu lebar yang sayangnya gue ga tau sampai kapan ruang itu akan terisi kembali. Dengan porsi dan kebahagiaan yang sama yang pernah dia buat.

Kini ruang yang ia tinggalkan hanya menyisakan perasaan hampa dan kegetiran yang menyakitkan, karena kesemuanya membuat gue tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menerimanya dan melepaskannya.

Dua hal paling tidak mungkin manusia bisa lakukan.

Mengapa hidup selalu jahat seperti ini ke gue?

I really miss you and it hurts.

A Geprek Generation Story

In your 30s, things that you would worry about it’s no more about why people “ghost” on you. But, now it’s more like, can I pay my debt and pay later later?

Admit it, nowadays not all people in their 30s have a steady job—the spike of start-up jobs where the company always broke and made people lose their day-to-day jobs. A covid situation where people get laid off and hard to find a job quickly. Even when people have 5 and 10 years already working jobs, the company pays them with a shitty paycheck.

Primarily, social media pressure is where we are “forced to” be consumptive. Then paylater and credit card happened.

The vicious cycle that makes us CAN’T EVEN AFFORD A DECENT HOUSE, A CAR, OR AN EMERGENCY FUND.

Why are we here? Despite the bubble of the economy that makes houses high up, the fact that we are young and have money that we don’t have and want to impress people that we are hate makes us reckless with money management.

Don’t let me start with people like me that need to provide a whole family. Paying my parent’s debt, helped my sister go to college, and my personal money problem.

What would I be? Of course, I’m one of the GEPREK GENERATIONS in this nation.

What is a Geprek Generation, you may ask?

My definition of Geprek Generation, like “Geprek” meaning itself-“smashed” or “crushed.” It’s similar to the sandwich generations, but I make it local.

The situation hardly makes people like me have a safety net but myself. We work harder than everyone. And whenever we want to enjoy our money, it’s hard not to think about selfishness and wasteful.

The finish line is always going further whenever I want to reach them.

It’s tiring, time-consuming, and hurts my confidence.

Speaking of jobs that give me money every month, I have my own story.

Since my early career, I have been working in a start-up company. For six years, everything seems okay. I got a good salary, love my jobs, and have the work-life balance I wanted.

Until Covid happened, during two years of Covid, I’ve been two times being laid off. First, because my company was running out of capital, and second because the company sucks. They don’t know what they are doing.

You know how it feels when you were being laid off on short notice without any compensation, still, have no job in the nearest time, and NO EMERGENCY FUNDS AT ALL?

IT’S A NERVE-WRACKING JOURNEY.

You want to die. Seriously.

So many debts, so little money you have.

It’s not like I’m so stupid managing my salary. But, because of the Geprek Generatios situation, where I can’t even save money. Can you imagine providing five people, including yourself? Not yet the debts that cost you 50% of your salary.

It’s hard, men. Don’t tell me otherwise.

And like what I said before, it’s affecting my confidence. If you are ever being laid off, you will be self-aware or have a hunch about when the company will sink or the time when your CEO will call you and say you no longer work in the company.

Whenever I do something terrible, I constantly get a nervous breakdown episode. I’ll have the scary scenario where I need to die, or I can’t give food on the table anymore. It’s hurt me because I love to work. I love to stay productive.

But, in the past two years, it seems like I always have a short run instead of a marathon.

Like what happened today, it’s only four months, and the first global company I work for decided to shut down. Luckily, I’ve been moved to the new project. But, trust me, it’s not that simple. I am saying goodbye to my team and starting something in the middle where everyone it’s rushing me. It’s very uneasy.

I want to have a stable life where I don’t need to open LinkedIn every three months to apply for jobs that I don’t even like.

I’m good at what I’m doing. I believe it. Heck, I even have 3 to 4 freelances to help me pay my debts.

It’s not fair if I have to work under the fear that I can lay off in the next few minutes because of one or two mistakes.

But, as we know, life is never fair since the beginning.

After a good crying and emotional eating, I said to myself. Why do I worry?

Can I survive this? OF COURSE, I CAN. I have no time to drown in sadness. I embrace the situation and I let that fucking nerve-wracking go.

Whatever will be, will be.

I believe that I can overcome this shitty situation as I did before. And my extrovert/Arian/sanguine ass myself would never….. give up easily.

Wish me luck!

ps: And for those of you who are in the same position, believe me, the universe always has a way to save you. Just believe in it.

The image of Ayam Gerprek as a context.

Kamu dan Cerita Hari Liburmu

Akhir-akhir ini kamu tidak terlalu menyukai hari libur. Alasan awalnya karena; Pertama, kamu tidak bertemu dengannya lagi. Kedua, ternyata dia tidak terlalu berniat bertemu denganmu sering-sering. Ketiga, semua teman-temanmu sibuk dengan hidupnya dan agaknya mereka masih sebal denganmu. Keempat, kamu selalu merasa kesepian di kamar indekos sempitmu tiap kali hari libur datang.

Lalu, ketika beberapa minggu ini hubunganmu dengan orang itu kacau balau, kamu menambah satu lagi alasan kenapa kamu tidak menyukai hari libur. Kamu jadi lebih banyak memikirkan tentang bagaimana membuat hubunganmu dengan dirinya kembali baik-baik saja.

Tapi, beberapa hari terakhir kamu sudah berjanji untuk tidak mengulang kebodohan-kebodohan ini lagi.

Sudah jelas bahwa tidak ada harapan untuk dirimu. Tidak ada lagi ruang untuk menghabiskan waktu demi seseorang yang tidak lagi peduli padamu.

Jadi kamu pun bertekad untuk membuat hari libur di bulan ketiga tahun ini sebagai perayaan kembali pada hidup single mu yang mungkin membosankan tapi setidaknya sedikit lebih sehat secara mental.

Pertama, kamu memilih untuk bangun siang. Tabiat yang sudah lama tidak kamu lakukan sejak mengenal orang itu. Karena dia selalu bangun pagi dan kamu jadi terbiasa karenanya. Jadi, kamu pun kembali menjadi si malas dengan bangun siang. Jam dua belas tepatnya. Badanmu lebih rileks dan pikiranmu pun lebih enteng. Masih ada dua belas jam lagi di hari liburmu.

Kedua, kamu mencari lokasi tempat makan yang sangat kamu inginkan. Apalagi kalau bukan semangkok bakmi. Bakmi Bangka langganan di belakang Mol favorit menjadi tujuan makan siangmu.

Sesampainya di sana Cici dan Koko penjualnya menyapamu akrab. Ini kali kelima kamu berkunjung ke sana. Sebelum memesan kamu sudah diberitahu bahwa pangsit stoknya tengah habis. Maka kamu pun memesan bakmi dengan bakso. Yang dengan sangat baik hati mereka menambahkan satu butir bakso lagi dengan satu gelas minuman gratis. Bahkan mereka pun menawarkanmu nasi gratis juga. Tapi perutmu terasa penuh. Kamu pun menolak dengan halus seraya tersenyum.

Ketiga, setelah perut kenyang kamu menghubungi beberapa temanmu. Ich dan Wyn. Kebetulan semalam kamu gagal ngebir bersama. Namun sayang Ich sedang sibuk dengan pasangannya. Kamu akhirnya jalan bersama Wyn. Di sebuah coffee shop yang menjual kopi dengan harga yang terlalu mahal. Tapi tak apa. Kamu sedang tidak ingin sendirian pikirmu.

Selama beberapa jam kamu menghabiskan waktu dengan membaca beberapa artikel tentang Mercury Retrograde yang membuat dirimu sedikit panik. Karena dari sana kamu mengetahui bahwa zodiakmu, Aries, adalah bintang yang paling banyak terpengaruh atas fenomena kosmik ini.

Kamu akhirnya mencatat beberapa hal yang dianjurkan di internet ketika menghadapi Mercury Retrograde ini. Anyway, Mercury Retrograde adalah ….three or four times a year, Mercury passes the earth in its orbit. As it rounds the bend, Mercury slows down and appears to stop (station) and spin backward (retrograde). Of course, it really ISN’T moving backward, but much like two trains or cars passing each other, this creates the optical illusion that one (Mercury, in this case) is going backward.

In astrology, Mercury rules communication, travel, and technology—so all of these areas can go haywire for about three weeks. To top it off, Mercury retrograde also has what’s called a “shadow period”, so you may feel the #retroshade a couple weeks before and after the official Mercury retrograde dates. Great, right.

Dari internet pun menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang bersifat Re-Wind.

Try not to start anything new. Focus on activities that start with the prefix “re-,” which means to go back. Review all your contracts before you sign. Renew your commitments, rather than making new ones. Prepare to repeat yourself often. Reunite with old friends. Redecorate a room. Rekindle a romance.

That last one should be taken with caution. Mercury retrograde CAN bring back an old flame, but often it’s for the purpose of closure, not necessarily because this is the “one that got away.” Don’t be surprised if you get a Facebook friend request from someone you dated ages ago or a forgotten childhood friend. We’ve bumped into long-lost friends (and loves) on the street during Mercury retrograde. Strange times!

Ada dua hal yang terlintas di benakmu terkait hal ini. Kamu ingin melakukan hal-hal re-wind tersebut. Mengubungi orang-orang yang meninggalkanmu tanpa alasan dan tentu saja si orang itu. Dan seperti hal lainnya dalam hidupmu, kamu menyalahkan fenomena ini atas kesialan yang kamu alami selama lima bulan terakhir.

Namun, kamu pun berpikir kembali, untuk apa?

Tapi semalam dua orang teman secara khusus menghubungimu untuk memberitahukan hal ini.

Pertama seorang teman bernama Dina, dengan jelas pointing zodiak Ariesmu sebagai salah satu bintang yang terkena efek paling keras dari Mercury Retrograde ini. Dengan spesifik ia mengatakan bahwa kesialan ini adalah faktor alam. Sesuatu yang tidak bisa kamu lawan. Terbaik yang bisa dilakukan adalah berhati-hati, bersabar, dan mengurangi melakukan hal-hal bodoh yang biasa kamu lakukan kemarin-kemarin.

Kamu pun mengangguk setuju dengan sedikit ketakutan dari kamarmu. Telepon dari Dina pun kamu tutup karena tiba-tiba Rangga, salah satu teman hippiemu, mengubungimu seperti seorang cenayang.

Dia bertanya apakah kamu baik-baik saja?

Kamu merasa baik-baik saja namun tidak sepenuhnya baik-baik saja. Kamu hampa dan gamang. Kamu sedang kalah dan gagal. Tapi sudah terlanjur menerimanya. Jawabmu.

Lalu Rangga pun kemudian menjelaskan tentang lagi-lagi, Mercury Retrograde ini. Dan sekali lagi, ia menegaskan bahwa Aries, adalah bintang yang paling terasa dampaknya. Maka ia pun perlu merasa khawatir dengamu. Ia pun menambahkan bahwa selama 21 hari kamu harus lebih peka dengan tubuh dan lingkungan sekitar. Karena di masa-masa ini adalah masa di mana sekali membuat kesalahan, akan besar akibatnya.

Mendengarnya kamu pun jadi makin berhati-hati.

Lalu Rangga menutupnya dengan memberikanmu sebuah tes dengan menyuruhmu menutup mata untuk bermeditasi dan memberikan afirmasi positif.

Kamu tersentuh dengan sikap teman-temanmu.

Keempat, kamu pun kembali makan. Dengan Sushi dan KFC. Karena sedang ada promo. Dengan seratus ribu rupiah kamu sudah menikmati makanan senilai 200 ribu. Perutmu kenyang, hatimu pun terasa lebih bahagia.

Sesekali mungkin kamu masih ingin membicarakan tentang orang itu ke Wyn. Tapi, kamu tahu Wyn sudah bosan dan muak dengan cerita-cerita sedih dan bodohmu. Maka kamu pun memilih untuk lebih banyak mendengar dan bertanya. Menumbuhkan empati yang sudah lama tertutup keegoisanmu.

Kamu pun masih memiliki beberapa jam di hari liburmu. Menyisakan beberapa ruang untuk dirimu sendiri. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak kamu lakukan.

Memprioritaskan apa yang benar-benar kamu inginkan.

Menyapa kembali dirimu yang sempat kamu lupakan karena sesaknya obsesimu akan orang tersebut.

Di sebuah coffee shop kedua yang kamu datangi. Di tengah bisingnya musik aneh dari sebuah event yang kamu benci. Di keramaian yang tidak kamu kenal siapa pun di sana. Pelan-pelan kamu pun seperti merasakan dirimu kembali. Dalam sebuah episode kehidupan seorang single yang biasa-biasa saja cenderung membosankan namun kamu suka.

Keenam, baiknya kamu cepat-cepat berbaikan dengan teman-teman lamamu. Karena kamu merindukan mereka lebih dari merindukan si orang itu.

Selamat menikmati hari libur dan jangan lupa untuk terus menulis.

Karena dengan menulis kamu berkawan dengan keabadian dan perlahan melawan rasa sepi itu sendiri tanpa kamu bahkan sadari.

You’re Gonna Be Okay

Eventually.

Fase pertama ketika melepaskan sesuatu yang tadinya begitu berarti dalam hidup secara tiba-tiba pastilah marah.

Amarah menjadi satu dari sekian banyak emosi yang hadir dalam merepresentasikan kekecawaan dan rasa rindu tersebut.

Marah karena mengapa berakhir seperti ini.

Marah karena mengapa dia tidak berjuang dengan begitu hebatnya untuk mempertahankan dirimu.

Marah karena, betapa bodoh mengulang kesalahan yang sama terus menerus dan selalu berakhir seperti ini.

Tapi, pertanyaan berikutnya adalah, mau sampai kapan?

I mean, that is okay to have those emotions. You deserve to be angry.

Merelakan kehilangan bukan hal yang mudah untuk dilakoni. Tapi, pada akhirnya seluruh amarah itu akan terasa sia-sia jika terus menerus disimpan dan dijadikan amunisi untuk mendestruksi diri sendiri.

Jangan lah. Capek sendiri. Marah boleh, melukai diri sendiri jangan. Jadi apa yang harus dilakukan ketika marah?

Dari sebuah podcast saya mendengar bahwa ketika manusia dikelilingi oleh perasaan marah dan emosi berlebih, bergerak menjadi salah satu cara untuk merelease-nya. Olahraga bisa sih. Tapi kalau malas berkeringat, keliling jalanan sambil nangis-nangis dengan kendaraan bisa jadi solusi. Pokoknya pas sampai kamar badan sudah letih dan ketiduran.

Fase berikutnya setelah dealing with anger and everything adalah fase denial dan mencoba untuk merekonsiliasi. Ini bentuk mundur karena dorongan untuk kembali menyapa orang tersebut besar sekali. Ini fase yang berbahaya. Karena jangan sampai harga diri kamu tercecer begitu saja hanya karena satu ‘hai’ saja. Jangan sampai progres kamu mundur karena rasa rindu dan keragu-raguan sesaat.

Siapkan pertahanan terbaikmu, kesadaran barumu, bahwa dengan tetap berada di titik ini, menolak untuk merekonsiliasi dan mempertanyakan kembali hubungan kamu, adalah hal terbaik yang kamu punya.

Karena, beberapa cerita mungkin membutuhkan beberapa drama untuk membuatnya tetap menarik. Mungkin di ceritamu adalah pilihanmu itu sendiri.

Tapi, ya kalau menurut kamu semuanya bisa diselesaikan dengan orang tersebut. Ya, monggo. Misalkan sudah mentok banget, ya coba cari distraksi lain saja. Coba hubungi keluarga, rekonek dengan orang-orang lama, atau bahkan masuk ke komunitas baru. Bukan hanya untuk berusaha menghalau urgensi ketika isi kepalamu dipenuhi hanya dengan orang tersebut saja ya. Tapi, ya jangan-jangan kamu memang sudah lama saja tidak bertemu teman-teman kamu atau membuat teman-teman baru.

Terakhir, fase yang paling sialan adalah terbiasa dengan itu semua.

Terbiasa dengan rasa sakit yang telah menggerogoti namun pada akhirnya sudah menjadi bagian dalam keseharianmu. Akhirnya ketika melihat orang tersebut bahagia dengan orang lain dan tidak membutuhkanmu lagi kamu juga sudah terbiasa dengan hal tersebut. Tidak dengan rasa marah, tidak juga dengan rasa kecewa.

Dari situ saya juga berfikir, jangan-jangan perasaan ikhlas itu bukan hanya tentang berdamai dengan diri sendiri saja. Bisa jadi karena sudah terbiasa saja, dan akhirnya luka dan kekecawaan yang sedari kemarin mendongkol jadi bias sendiri. Inner peace mungkin hanya sebuah ilusi yang diglorifikasi agar mereka-mereka yang tersesat seperti melihat ujung perjalanannya.

Padahal kan enggak semua orang bisa survive dengan metode tersebut. Mungkin ada beberapa orang yang memang; “ya sudahlah saya loser dan terpaksa untuk bangun lagi dan mencoba lagi sambai ribuan hari sampai akhirnya sadar sudah bertahan sejauh ini.”

Dikasih tau pahitnya seperti itu juga enggak apa-apa sih sebenarnya. Hehe. Jalan untuk rileks dan tidak drama dalam hidup pasti panjang dan sulit tapi kan tidak ada yang tidak mungkin. Tergantung kita mau atau enggaknya.

Saya enggak janji kamu bisa dengan mudah bisa selesai dengan semua rasa kecewa kamu ya. Tapi setidaknya dalam prosesnya, dalam masa silent kamu, dalam masa kecewanya kamu, kamu bisa menemukan diri kamu lagi. Kamu bisa menemukan alasan untuk mencintai diri kamu ternyata jauh lebih penting dibanding mengejar-ngejar dan mempertanyakan kepergian orang tersebut. Itu yang terpenting sih. Jangan kebanyakan galau dan sakit hati. Enggak enak.

Jadi, selamat menikmati fase-fase itu semua ya! Kamu enggak sendirian. Sudah itu aja yang perlu kamu tahu.