Sweetest Goodbye

Berkali-kali mengalami perpisahan ternyata tidak membuat gue lebih baik dalam menghadapi perpisahan itu sendiri. Terlebih ketika perpisahan itu berbalut senyuman paling manis yang pernah gue lihat, kata-kata penutup yang indah dan menghangatkan, juga ucapan semoga dapat bertemu kembali yang gue tau ga akan pernah terjadi.

Kesemuanya menjadi kombinasi maut yang membuat siapa pun percaya bahwa “perpisahan baik-baik” masih tetap lebih baik daripada berakhir dengan kebencian dan rasa marah.

Tapi enggak bangsat, semuanya tetap terasa menyakitkan. Titik.

Apalagi jika perpisahan itu tidak pernah berada dalam plan timeline terdekat elo. Semua terasa begitu cepat, terburu-buru, dan tak terelakan.

Rasa sakit yang tadinya biasa saja kemudian menjadi pahit yang menyesakkan keesokan harinya. Ketika gue baru menyadari bahwa gue benar-benar tidak dapat bertemu dengan dia lagi dalam bentuk apa pun.

Segala hal tentang, “masih ada hari besok lagi kok”, “see you later”, dan “yaudah nanti aja ya ngobrolnya” menjadi begitu berjarak dan jauh.

Sangat jauh sampai menyadarkan gue bahwa empat bulan lalu kami berdua hanya dua orang asing berbeda negara yang God knows tidak akan ada irisan apa pun yang bisa membuat kami bertemu.

Namun gue beruntung, akhirnya kami bertemu. Dia si orang asing yang tiba-tiba menjadi sosok sentral dan alasan gue untuk dapat tersenyum penuh sepanjang empat bulan ini. Then jokes on me, dalam hitungan ga sampai lima menit kami pun berpisah dan kembali menjadi orang asing lagi.

Semua terjadi di saat gue masih belum tau banyak tentang dirinya, sebaliknya pun dirinya. Dia masih jadi sosok yang ingin gue lengkapi informasinya hari demi hari. Dengan begitu semangat dan penuh haru biru.

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin gue tanyakan, masih banyak senyuman yang ingin gue lihat tiap harinya dari wajahnya, masih banyak hal yang ingin gue bagi dengan dirinya meski itu selalu bertabrakan dengan perbedaan bahasa.

Tapi semuanya adalah momen-momen terbahagia yang bisa gue punya di tengah hidup gue yang kayak taik ini.

Bersama dia gue ga pernah merasa bahwa gue ga cukup “good looking” untuk bisa berbagi nafas yang sama dengan dia. Bersama dia, gue ga pernah dibuat bertanya-tanya soal sikapnya ke gue, dia selalu jelas dengan apa yang dia lakukan. Bersama dia, dengan caranya dia, ketika gue berbuat salah dia ga akan pernah merendahkan gue atau apa pun. Dia hanya akan menjelaskan semuanya dengan baik-baik saja.

Tidak pernah ada yang lebih baik dari dia di hidup gue.

Tanpa gue sadari dengan semua itu akhirnya membuat perpisahan baik-baik ini lebih menyakitkan dari perpisahan terburuk yang pernah gue alami sebelumnya. Karena di perpisahan kali ini tidak ada lagi tokoh jahat yang bisa membuat gue membenci dirinya dan akhirnya melupakannya.

Kali ini, dia si sosok paling sempurna yang pernah gue temui, dan akhirnya harus pergi dari hidup gue yang nelangsa ini. Meninggalkan ruang kosong yang begitu lebar yang sayangnya gue ga tau sampai kapan ruang itu akan terisi kembali. Dengan porsi dan kebahagiaan yang sama yang pernah dia buat.

Kini ruang yang ia tinggalkan hanya menyisakan perasaan hampa dan kegetiran yang menyakitkan, karena kesemuanya membuat gue tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menerimanya dan melepaskannya.

Dua hal paling tidak mungkin manusia bisa lakukan.

Mengapa hidup selalu jahat seperti ini ke gue?

I really miss you and it hurts.

Gege Mengejar Cinta in Real Life.

Di masa remaja ketika SMA gue membaca sebuah novel berjudul Gege Mengejar Cinta. Sebuah novel dengan kisah cinta segitiga yang berpusat di antara Gege, Tia, dan Caca.

Kisahnya kurang lebih; Gege suka sama Caca sejak SMP tapi enggak cukup punya keberanian untuk nembak meski sampai SMA beres. Kemudian saat kuliah mereka berpisah. Fast forward Gege satu kantor dengan Tia. Tia suka sama Gege tapi gengsi. Lalu Caca hadir lagi di hidup Gege. Tia keki. Gege berharap. Caca ya terima aja. Endingnya, semua perempuan tersebut ngejar Gege. Tapi, Gege lebih memilih Caca. Namun, sayangnya tidak ada yang berhasil memiliki siapa pun. Tidak Gege yang sudah segitunya banget menyimpan perasaannya selama bertahun-tahun. Tidak juga Tia yang sudah mengubah dan mengorbankan banyak hal dalam dirinya untuk mendapatkan perasaannya Gege.

Mereka bertiga akhirnya berpisah dalam haru dan ironi.

Gue menyukai bukunya dengan teramat sangat. Gue selalu berfikir gue adalah Gege. Gue adalah Gege untuk R. Namun, setelah bertahun-tahun berjalan semua terasa bodoh. Gue akhirnya berhasil melepas R.

Lalu, fast forward di umur gue yang dua puluh delapan tahun, di saat setahun terakhir ini tiba-tiba hidup membuat gue menjadi seorang Tia.

Tia yang gengsi tapi sekuat tenaga berusaha untuk mendapatkan perhatian Gege yang enggak cakep cakep banget tapi Tia sayang.

Tia yang sudah melakukan apa pun, mengubah dirinya, mengorbankan banyak hal di hidupnya, membuang gengsinya hanya demi membuat Gege setidaknya mau ‘stay’ bersama dia.

Namun, hidup kan terkadang memang sulit untuk beberapa orang ya. Mau diet keto sampai gajian ludes juga tetep aja kalau misalkan ditakdirkan gendut yaudah lah yaw.

Mau dipaksain ‘sebegimananya’ juga jika misalkan pada dasarnya si Gege enggak suka-suka amat sama Tia, ya enggak bakalan jadi juga.

Gue sayang banget dengan karakter Tia.

Tia yang enggak pernah meminta Gege untuk berubah hanya agar diterima dirinya.

Tia yang rela berjuang bersama Gege tanpa Gege minta.

Tia yang akan menomor satu kan Gege dengan sukarela dan akan selalu tersenyum setiap Gege mengecewakan dia.

Tapi ya Tia enggak akan pernah cukup untuk Gege. Dan perlakuan Gege ke Tia juga akan selalu kurang jika ingin seperti ekspektasi Tia.

They will hurt each other so much. They bad for each other. And it will ruin everything between them.

Namun, gue tahu Tia sudah melakukan yang terbaik dari dirinya untuk ‘mengejar’ Gege.

Tia pantas mendapatkan seseorang yang memang akan memperlakukan Tia seperti Tia mengejar Gege.

Tia pantas bahagia dengan mereka yang memang menginginkan Tia dalam hidupnya.

Gue yakin di awal-awal pahit banget. Tia sampai resign juga padahal karirnya lagi bagus-bagusnya. Gue tau banget deh Tia pasti sampai ke psikolog dan psikiater buat bisa move on dari Gege.

Ya memang lah ya kita enggak selalu bisa mendapatkan apa yang kita mau. Bukan hanya karena gulali kata yang menyatakan; ketika kita tidak mendapatkan yang kita mau, mungkin dia memang bukan untuk kita. Tuhan menjauhkan hal yang akan merusak kita.

Menyenangkan ketika mendengar kata-kata itu. Terlepas dari benar tidaknya.

Dan untuk Tia Tia di luar sana,

kamu bisa kok bahagia dengan diri kamu dan orang baru lagi. Pahit-pahitnya hidup pasca ‘move on’ dari Gege yang baru banget mungkin hanya fase yang nantinya setelah benar-benar sembuh elo akan tersenyum dan ketawa sendiri ingetnya.

Tapi, untuk sekarang ayok semangat untuk tidak berlama-lama dengan perasaan sakit itu.

Karena mau meromantisasi rasa sakit dengan amat indah pun pada akhirnya semua yang harus berakhir pasti akan berakhir juga. Jangan buang-buang waktu dengan kesedihan yang sebenarnya kalian juga tahu ini hanya akan berakhir sia-sia.

Bisa kok. Meski tetap ada retak dan patah di sana. Tapi in the end of the day, semua akan baik-baik saja.

Tinggal kamunya mau atau enggak. Bisa kan?

A Baby Step To Move On

Do I really like you or I just obsessed with you?

Maybe this is not as easy as it starts, but I know where it goes. I will move forward to the place where I don’t need you. Where I can see myself laugh and smile because I want to, not because I saw you. Not because little things that you did to me. Not even close. Not even a bit.

I’m happy because I have conquered myself.

In the past it was so exhausting every time I’m craving for your attention. Bothered by the thing that actually I don’t need to worried about.

It harmed myself more than I expected. I become so obsessed, everything is always about you. You become the priority that I don’t need to. And that ruined everything.

I pretended to be someone else, I lose myself, and even more, for many times I lose you. It hurts me and I know that It hurts you too.

What are we? You and I asked for each other. And then you silent. The silent that you know will hurt me.

I don’t know. I don’t know. I don’t know. I repeatedly talk to myself in your room. The place where I always beg you to stay. And this is the fourth time we did this. This is too many, you can’t handle me anymore.

My friends always told me you are just being nice to me. You are too kind to hate and avoid me. I knew that. Cuz in the end of the day, we are always being back together. Not in a romantic way, but it’s good to know that you still want me in your life. Even after the damage that I’ve done between us.

We supposedly reminds to be stranger for each other.

You supposedly only become somebody I talk for one or two. Not like these.

‘These’ means; I want to have you for my own, I don’t want to share you to anyone, I don’t want you to ignore me even for a second. Those are actually the wrong reason to love somebody.

Why I become so needy, pathetic, and insecure like that? For someone like you? Whom I know nothing about. Whom I just known for a months. Who don’t even care about me at all.

I wonder, what exactly thing that make me really crazy about you?

I dig for the answer. I don’t find anything in particular. I have nothing to say.

Nonetheless, if I don’t have the answer it means supposedly my feelings will fades as time goes by. I hope.

The last time we argued for each other, I told you that I promise to totally leave your life. To make a real distance. Without any doubt, you agree with that. Maybe this is best for us. You said.

You don’t want me anymore. But you still make me stay in your room.

But, I know why. You pity me. And you do realize that you are bad for me. And we both know that.

And I said, ‘Please help to make me don’t need you anymore. Please help to make me don’t want you anymore’.

You sigh and silent. You just gave me a sign to leave your room.

I still hold my tears. You accompany me to the front door. Without saying goodbye to each other, then I went. I didn’t look back. And when I was on my way to my place I secretly make a promise to myself.

This time I will break my pattern, I will letting you go, and I will be fine.


Saw You In a Dream

You just don’t hear me anymore
And I know that I shouldn’t even try
It’s a waste of time — The Japanese House

Bayangkan seperti ini. Kita berdua adalah dua orang paling sial di muka bumi ini. Sudah sama-sama sedang berusaha menghindar satu sama lain, tapi semesta selalu punya caranya sendiri untuk membuat kita berdua bertautan kembali.

Salah satunya adalah dengan kamu datang ke dalam mimpi saya. Betul tidak sih? Karena saya memang tidak berencana membuat kamu ada di dalam mimpi saya. Kamu jangan kepedean ya. Kita kan sudah sama-sama berjanji untuk tidak berkomunikasi satu sama lain lagi. 

Karena, kamu berpikir jika kita saling berbicara lagi, saling terkoneksi lagi, jalinan itu akan kembali lagi. Ekspektasi saya akan muncul lagi. Dan obsesi itu akan datang menguasai dan merusak apa yang ada. Meskipun kali ini sudah tidak ada lagi yang bisa dirusak. Karena kita berdua sudah sama-sama tahu bahwa tidak ada lagi hal baik yang tersisa.

Kamu terlanjur bilang bahwa kamu sudah lelah dengan ini semua. Kamu tidak dapat lagi melanjutkan permainan ini. Meskipun dengan jelas selama empat kali saya memohon-mohon padamu untuk mengulang kembali apa yang terjadi dari awal lagi. Seperti biasanya. Dulu setelahnya kamu akan tersenyum dan kita pun akan menukar candaan bodoh dan semua pun mencair dan baik-baik saja.

Tapi tidak malam itu. Suaramu meninggi tiap kali saya bilang, “biasanya kita mulai dari awal lagi kok”.

Sepertinya tidak akan ada lagi kesempatan kedua. Jatah untuk itu telah habis. Matamu begitu letih dan gerakanmu begitu dingin. Ini sepertinya betulan. Kamu sudah merencanakan dengan serius ingin mengusir saya dari hidupmu.

“Demi kebaikan kita berdua,” ucapmu yakin penuh kepastian. Melihat muka saya pun kamu tidak peduli.

Tapi sebenarnya rasanya aneh ketika kamu bilang seperti itu. Sejujurnya ini adalah perpisahan paling baik yang pernah saya punya. Rata-rata ‘mereka’ akan menghilang tanpa memberikan alasannya. Dan selama bertahun-tahun saya akan mengais meminta jawaban untuk itu. Kamu begitu baik memberikannya di awal. Sepertinya kamu kasihan sama saya. Kamu sudah tidak mau melihat saya gila lagi. Atau kamu tidak mau repot-repot dikejar kegilaan saya di kemudian hari.

Tapi, apa pun alasannya, rencana kamu berhasil.

Obsesi itu pun perlahan pudar, meski tidak kilat. Masih ada hari-hari di mana isi kepala saya hanya tentang kamu. Namun, untungnya sekarang sudah biasa saja. Mungkin rasa sakit itu sudah berkompromi. Mungkin saya juga tidak enak dengan kamu. Kamu begitu baik. Saya yang gila.

Dan setelah lebih dari satu bulan dari perjanjian itu, akhir-akhir ini tiba-tiba saja kita berdua saling bertemu di mimpi. Mimpi saya tepatnya. Seperti biasa kita sedang tertawa berdua, membicarakan hal-hal bodoh yang tidak perlu. Semua terasa ringan. Sampai ya, saat saya bangun tidur, dengan begitu jelas saya mengingat semua yang ada di mimpi tersebut. Saya tersenyum begitu riang. Saya merasakan bahagia yang dulu pernah kamu berikan.

Meskipun ketika kita bertemu lagi suasana tetap dingin, penuh diam, dan kaku itu akan terus ada. Tapi, di mimpi itu, saya punya versi kamu yang dulu. Yang membuat saya terobsesi dengan kamu. Yang membuat saya begitu menyukai menghabiskan waktu lama-lama hanya dengan merokok dengan kamu. Atau membuatkan mie dengan topping telor yang tidak bisa saya masak.

Semuanya begitu sederhana.

Namun tidak dengan obsesi ini, yang entah kenapa hadir begitu meresahkan dan mengganggu.

Tidak seharusnya kamu berada dalam kotak tersebut. Seharusnya kita cuma dua orang yang kenal begitu saja dan menukar canda kebodohan sambil lalu.

Tidak seharusnya saya mendedikasikan satu tulisan panjang ini buat orang macam kamu.

Jika memang semua tuduhanmu benar malam itu. Betapa sialnya saya harus kembali menjadi si bayangan dalam cahaya yang seharusnya bisa saya miliki sendiri.

Tapi kamu benar. Sudah seharusnya saya belajar mengikhlaskan. Melepaskan kamu. Dan konsep-konsep kebahagian yang berkali-kali kamu bilang tidak perlu saya sematkan pada diri kamu.

Semua terlanjur terjadi. Setidaknya untuk perpisahan kali ini biarkan saya tidak kehilangan diri saya. Versi saya yang dulu baik-baik saja jauh sebelum saya mengenal kamu.

Bisa kan?

2019 dan Kebodohan-Kebodohan yang Seharusnya Dihilangkan

Ketika hati berkata A dan mulut berkata lain.

Sebodoh-bodohnya manusia adalah mereka yang mengulang kesalahan yang sama. Kepahitan yang berulang yang seharusnya tidak perlu mereka lakukan lagi. Entah karena mereka menyukai luka yang sama terus menerus, atau memang kontrol diri mereka selemah itu.

Dan kamu adalah jagoannya. Master dari segala kebodohan tersebut.

Selama sepuluh tahun kamu terus hidup dalam rantai yang seharusnya sudah kamu putus bertahun-tahun lalu. 

Seperti cerita usang ini, ketika kamu diam-diam membohongi diri kamu bahwa sebenarnya kamu masih butuh orang itu hadir di hidup kamu.

Bahwa hari demi hari makna dia di hidup kamu menjadi besar secara tiba-tiba tanpa kamu sadari. Mungkin kamu sadar tapi tidak mau kamu akui. Karena ketika kamu mengakuinya kamu tahu hal ini tidak akan ke mana-mana. Kamu tahu ini tidak akan menjadi apa-apa. Selalu seperti itu. Kamu hanya akan jatuh cinta sendirian. Kamu hanya akan meromansa sesuatu yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat.

Saat kamu melihat dia sedang berusaha melepasmu dan jalan dengan yang lain. Sesak rasanya dan kamu ingin sekali bilang padanya bahwa: hei, kamu tidak perlu berubah untuk jadi orang lain untuk bisa terlihat menarik di mata saya.

Bodoh.

Kamu dan selalu tentang hal-hal bodoh yang seharusnya sudah musnah di tahun yang baru ini namun masih kamu jalani, karena kamu menikmatinya.

Sebenarnya kamu benar-benar menyukainya atau hanya rasa obsesimu semata? Betapa kamu hanya ingin memilikinya, mengaturnya, memamerkannya.

Bahwa sekalipun tidak pernah ada yang berbalas dari hal-hal yang kamu lakukan untuknya.

Betapa tolol ucapmu sambil menghembuskan asap rokok terakhirmu.

Karena sebenarnya kamu tahu bahwa sekarang kamu sedang menabung sakit yang akan kamu tahu akan menyiksamu begitu parah di kemudian hari.

Sudahi saja, dunia memang tidak pernah adil untuk orang sepertimu. Dan tak akan pernah.