A Geprek Generation Story

In your 30s, things that you would worry about it’s no more about why people “ghost” on you. But, now it’s more like, can I pay my debt and pay later later?

Admit it, nowadays not all people in their 30s have a steady job—the spike of start-up jobs where the company always broke and made people lose their day-to-day jobs. A covid situation where people get laid off and hard to find a job quickly. Even when people have 5 and 10 years already working jobs, the company pays them with a shitty paycheck.

Primarily, social media pressure is where we are “forced to” be consumptive. Then paylater and credit card happened.

The vicious cycle that makes us CAN’T EVEN AFFORD A DECENT HOUSE, A CAR, OR AN EMERGENCY FUND.

Why are we here? Despite the bubble of the economy that makes houses high up, the fact that we are young and have money that we don’t have and want to impress people that we are hate makes us reckless with money management.

Don’t let me start with people like me that need to provide a whole family. Paying my parent’s debt, helped my sister go to college, and my personal money problem.

What would I be? Of course, I’m one of the GEPREK GENERATIONS in this nation.

What is a Geprek Generation, you may ask?

My definition of Geprek Generation, like “Geprek” meaning itself-“smashed” or “crushed.” It’s similar to the sandwich generations, but I make it local.

The situation hardly makes people like me have a safety net but myself. We work harder than everyone. And whenever we want to enjoy our money, it’s hard not to think about selfishness and wasteful.

The finish line is always going further whenever I want to reach them.

It’s tiring, time-consuming, and hurts my confidence.

Speaking of jobs that give me money every month, I have my own story.

Since my early career, I have been working in a start-up company. For six years, everything seems okay. I got a good salary, love my jobs, and have the work-life balance I wanted.

Until Covid happened, during two years of Covid, I’ve been two times being laid off. First, because my company was running out of capital, and second because the company sucks. They don’t know what they are doing.

You know how it feels when you were being laid off on short notice without any compensation, still, have no job in the nearest time, and NO EMERGENCY FUNDS AT ALL?

IT’S A NERVE-WRACKING JOURNEY.

You want to die. Seriously.

So many debts, so little money you have.

It’s not like I’m so stupid managing my salary. But, because of the Geprek Generatios situation, where I can’t even save money. Can you imagine providing five people, including yourself? Not yet the debts that cost you 50% of your salary.

It’s hard, men. Don’t tell me otherwise.

And like what I said before, it’s affecting my confidence. If you are ever being laid off, you will be self-aware or have a hunch about when the company will sink or the time when your CEO will call you and say you no longer work in the company.

Whenever I do something terrible, I constantly get a nervous breakdown episode. I’ll have the scary scenario where I need to die, or I can’t give food on the table anymore. It’s hurt me because I love to work. I love to stay productive.

But, in the past two years, it seems like I always have a short run instead of a marathon.

Like what happened today, it’s only four months, and the first global company I work for decided to shut down. Luckily, I’ve been moved to the new project. But, trust me, it’s not that simple. I am saying goodbye to my team and starting something in the middle where everyone it’s rushing me. It’s very uneasy.

I want to have a stable life where I don’t need to open LinkedIn every three months to apply for jobs that I don’t even like.

I’m good at what I’m doing. I believe it. Heck, I even have 3 to 4 freelances to help me pay my debts.

It’s not fair if I have to work under the fear that I can lay off in the next few minutes because of one or two mistakes.

But, as we know, life is never fair since the beginning.

After a good crying and emotional eating, I said to myself. Why do I worry?

Can I survive this? OF COURSE, I CAN. I have no time to drown in sadness. I embrace the situation and I let that fucking nerve-wracking go.

Whatever will be, will be.

I believe that I can overcome this shitty situation as I did before. And my extrovert/Arian/sanguine ass myself would never….. give up easily.

Wish me luck!

ps: And for those of you who are in the same position, believe me, the universe always has a way to save you. Just believe in it.

The image of Ayam Gerprek as a context.

Mengubah Kebiasaan Kecil

Di masa Covid seperti ini, hal-hal kecil terkait rasa sakit di mulut dan tenggorokan bisa jadi sesuatu yang menakutkan.

Tujuh bulan terakhir sejak saya menempati kamar yang lebih kecil dengan posisi AC yang langsung membungkus tubuh saya dengan rasa dingin, seringnya membuat saya bangun tidur dengan kondisi tenggorokan super kering yang tidak enak dan sedikit rasa sakit di mulut.

Seperti ada luka di atap-atap mulut saya. Mau saya basahkan dengan minuman hangat ataupun dingin, rasa kering itu tetap menempel.

Kebetulan beberapa hari lalu saya sudah ada janji dengan dokter gigi untuk pembersihan rutin karang gigi. Sepanjang pembersihan karang gigi dokter itu bertanya tentang imunitas dan pola makan saya.

Karena kebetulan dia melihat ada sisa sariawan di bibir bawah saya. Saya ingat bahwa sariawan itu datang dari secara tidak sengaja saya kepentok iPhone yang jatuh tepat ke mulut saya saat menonton dengan posisi tidur.

Dokter gigi itu pun tersenyum lega.

Setelah selesai dengan proses pembersihan karang gigi tersebut, dokter itu mempersilahkan saya untuk berkonsultasi hal lain sebelum saya pulang.

Lalu saya pun bertanya perihal kondisi mulut dan kerongkongan saya yang kering setiap bangun tidur.

Lalu dengan cepat dokter itu bilang bahwa saya punya kebiasaan bernafas lewat mulut bukan hidung.

Saya bingung, karena saya sendiri tidak sadar dengan hal tersebut.

Ia menjelaskan karena saya bernafas lewat mulut, maka dengan tidur yang menganga akan membuat udara AC yang masuk ke mulut dengan mudah membuat mulut saya kering. Karena kondisinya yang terbuka terus.

Saya mengangguk setuju sambil berusaha menyadari bahwa kali ini saya sudah menghirup dan menghembuskan nafas lewat saluran hidung.

Lucu sekali, saya pikir saya sudah melakukan pernafasan dengan benar. Tidak tahunya saya salah selama ini.

Mungkin alasan mengapa saya bernafas lewat mulut karena sinus saya yang menggangu. Membuat hidung saya sering pilek dan tersumbat ga jelas. Yang membuat saya bahkan dalam kondisi terbangun sekalipun sering terdengar seperti sedang mengorok. Ga enak deh.

Sepulangnya dari klinik gigi tersebut saya coba untuk terus menerus mempraktikan bernafas lewat hidung, sampai saya pun tertidur (yang mana saya sudah meniatkan untuk tidak membuka mulut saya).

Hasilnya?

Besok pagi saya sudah tidak mengalami sensasi kering di mulut dan tenggorokan lagi. Tidur saya jadi lebih nyenyak dan bangun tidur jadi lebih menyenangkan tanpa sakit sama sekali.

Wow, hanya dengan mengubah kebiasaan kecil dengan benar ternyata dapat menyelamatkan saya dari radang tenggorokan yang mengganggu tiap harinya.

Saya jadi ingat ajaran Mas Adji Santoso perihal latihan bernafas.

Untuk menjadi mindfulness, bisa dimulai dengan latihan bernafas, breath in – breath out. Merasakan di sini dan kini. In the present moment, counting our second through breathing. Jika saya sedang panik, saya sering menerapkan itu. Dan lamat-lamat rasa panik itu memudar karena saya memilih untuk tenang lewat tempo nafas yang lebih teratur.

Ternyata baru mengetahui satu dua teknik bernafas yang benar saja sudah dapat mengubah hidup ya. Jadi, penasaran dengan teknik bernafas lainnya deh.

gambar dari google

Manifest Good Things in Life

Lately seluruh pikiran gue mengarah ke hal-hal yang cenderung negatif. Dan seperti para penganut law of attraction katakan “apa yang ada di pikiran kita berulang secara konstan, most likely end up menjadi sebuah kenyataan.”

Dan, gue mau cut off pikiran-pikiran negatif itu.

Gue mau manifest hal-hal baik yang akan terjadi di hidup gue tahun 2021 ini. Mulai dari:

  1. Gue akan mendapatkan pekerjaan yang gue suka where I’m good at dan bisa kasih impact ke sana dengan gaji yang lebih besar dari yang gue dapat sekarang. Dan gue akan mendapatkan pekerjaan ini dalam waktu dekat.
  2. Masalah nyokap gue akan segera selesai dan semua yang sudah kami korbankan akan terbayar secara adil.
  3. Gue, keluarga gue, dan teman-teman terdekat gue sehat-sehat semua.
  4. Suasana dan kehidupan gue dan keluarga gue kembali normal dan baik-baik lagi.
  5. Hidup gue secara finansial akan kembali stabil.

Dan dengan penuh rasa syukur gue juga menyadari banyak hal-hal baik yang Tuhan terus kasih ke gue selama masa sulit ini. Seperti:

  1. Terima kasih untuk pekerjaan yang enak dan bisa menghidupi gue dan keluarga gue.
  2. Terima kasih untuk teman-teman yang super baik dan selalu peduli.
  3. Terima kasih untuk kesehatan yang bisa bikin gue bekerja dan hidup dengan baik.
  4. Terima kasih untuk makanan-makanan enak yang bisa gue konsumsi.
  5. Terima kasih untuk internet dengan koneksi yang cepat.
  6. Terima kasih untuk buku-buku dan film/series yang selalu ada menghiburku.
  7. Terima kasih untuk orangtua yang masih komplit.

Dan masih banyak lainnya.

Gue percaya bahwa yang gue jalani sekarang adalah salah satu ujian untuk naik kelas. Dan perlahan gue sedang menikmati proses jatuh bangunnya.

Seperti salah satu teman yang bilang ke gue: prepare for the best.

And I let God do the rest.

Bismillah.

Tentang Catatan Tercecer

Catatan tercecer tentang diari selama pandemi.

Satu tahun lebih kehadiran Corona mengubah kehidupan manusia di seluruh bumi.

Rasa sakit kini lebih mengerikan, karena kematian tak pernah sedekat ini. Lupa cuci tangan, lupa memakai masker, lupa menjaga jarak, dan dampaknya adalah serangan virus kecil mematikan yang tidak kenal ampun.

Setahun sudah saya, kamu, kita semua beradaptasi dengan itu semua. Hidup dengan ketakutan dan ketidakpastian ini.

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari menyaksikan orang yang kita sayang berada di rumah sakit tertatih-tatih akrab dengan selang-selang dan suntikan yang membantu mereka untuk terus hidup.

Terlebih lagi jika itu semua tidak lagi cukup untuk dijadikan harapan. Maka mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya dari kejauhan pun menjadi suatu kebiasaan baru yang menyakitkan.

Virus kecil ini merenggut semua kebahagiaan yang ada. Mengambil semua momen-momen penting yang seharusnya dirayakan. Menghancurkan semua rencana yang tertata rapi dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Hidup tidak pernah sebercanda ini. Hidup tidak pernah sepahit ini. Bertahan menjadi satu kata yang begitu nyata. Kita semua berjuang untuk terus hidup dengan cara kita masing-masing.

Semua orang bertahan untuk terus melanjutkan hari yang tidak pasti ini. Termasuk saya.

Lewat pandemi ini saya bekerja lebih keras. Berusaha menyibukkan diri lebih dari sebelumnya. Membaca semua buku yang dulu saya tunda-tunda untuk baca. Menonton semua film dan series yang selalu saya tidak pernah punya waktu untuk habiskan.

Berbicara lebih lama dengan orang tua. Menjaga mereka agar tidak terkena virus sialan ini. Merawat mereka lebih dekat.

Dan akhirnya saya sadar. Saya hanya menghindari diri saya sendiri dalam kesendirian dan kesepian ini.

Tidak pernah saya sedekat ini dengan diri saya sepanjang saya hidup. Berada 24 jam dengan hanya diri saya tanpa kehadiran teman-teman saya atau distraksi-distraksi lainnya.

Selama pandemi ini mau tak mau akhirnya saya punya waktu untuk mengenal diri saya sendiri. Mendalami hal-hal yang dulu terlewat dan hanya disimpan sendiri.

Amarah itu. Kesedihan itu. Mimpi-mimpi itu. Atau pun memori-memori kecil yang dulu selalu memancing emotional breakdown dan drama-drama lainnya.

Selama pandemi ini saya dituntut untuk mempelajarinya. Mengenalinya. Menyapanya. Dan akhirnya berdamai dengannya.

Awalnya tentu saja agak aneh. Kaku. Canggung. Dan menyakitkan.

Pertanyaan “untuk apa semua ini?” dan “sampai kapan ini akan berakhir?” selalu muncul, tapi di lubuk hati ini, saya tahu akan ada pertanyaan lain untuk pertanyan tersebut.

Mau sampai kapan menghindarinya?

Maka jadilah selama setahun ini saya dengan perlahan, pelan-pelan, sedikit demi sedikit menyicil hal-hal yang dari dulu belum selesai dalam hidup saya.

Masa kecil menjadi awal dari pencarian ini.

Apa yang belum selesai dengan masa kecil saya?

Pertanyaan yang semua psikolog senang untuk tanyakan.

Lalu saya menemukan satu sosok anak kecil yang tidak mungkin saya lupa. Anak kecil laki-laki berkulit gelap, kurus, dengan bola mata besarnya yang penuh dengan rasa ingin tahu.

Ia kadang berbicara dengan tembok, mainan-mainannya, komik-komiknya, atau dirinya sendiri.

Ia senang membuat percakapan imajiner dengan dirinya sendiri. Mengarang situasi yang terjadi dengan bumbu-bumbu ketegangan dari potongan-potongan cerita yang ia baca atau dengar secara acak.

Anak kecil itu cukup bahagia dengan dunianya. Ia menciptakan semesta dalam kepalanya yang selalu riuh dengan khayalan yang tidak bisa ia jelaskan.

Namun ia menikmatinya.

Lalu anak kecil itu pulang ke rumah.

Sepi.

Ia menyalakan televisi hitam putihnya. Ia menyaksikan satu demi satu acara yang menampilkan kehidupan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sesuatu yang tidak pernah ia miliki.

Semua begitu menyenangkan. Semua orang tertawa. Semua orang berpelukan. Kata yang baru ia pelajari saat itu. Karena ia tidak pernah melihat orang-orang berpelukan di sekitarnya.

Ia menabung memori itu.

Esok harinya ia menonton televisi lagi. Kini semua orang merayakan sesuatu. Semua orang dengan hangat menghantarkan perasaan sayang yang begitu kentara satu sama lain. Mereka masing-masing saling menginginkan dan begitu kasmaran.

Anak kecil itu mengangguk. Merasakan getaran dari cuplikan video tersebut. Ia menginginkan perasaan menggelitik di perut itu.

Ia mau merasakan bagaimana diinginkan begitu hebat oleh orang lain. Ia menginginkan diingankan oleh orang lain. Tabungan baru dalam memorinya. Ucapnya.

Tahun pun berlalu. Tabungan-tabungan itu melekat dalam benaknya tanpa ia sadari.

Di umurnya kala itu ia sudah cukup tua untuk sadar bahwa ia menyukai orang lain selain makanan dan buku-buku yang ia koleksi.

Perasaan menyenangkan itu tinggal di hatinya yang masih muda dan bodoh. Karena ia lupa, tak semua orang akan menyukai dirinya. Meskipun itu adalah orang yang ia suka setengah mati.

Ia pun berusaha. Melakukan berbagai cara seperti yang ia baca di novel-novel remaja dan film-film cinta yang ia jadikan referensi.

Ia menjadi si karakter yang menyenangkan. Yang menghidupkan suasana dan membuatnya tertawa. Dari semua yang ia ingat, orang-orang selalu menyukai mereka yang bisa membuat tersenyum.

Ia mendalami peran itu. Bertahun-tahun ia menyukai orang yang sama. Bertahun-tahun pula ia bertanya, apakah orang yang ia suka menyukainya balik?

Apakah menjadi lucu dan menyenangkan tidak cukup?

Ia pun menanyakan itu pada orang yang ia suka.

Apakah orang itu merasakan hal yang sama? Apakah perasaannya berada di tempat yang seharusnya? Apakah ini hal yang benar? Karena ia sudah cukup menghabiskan banyak waktu untuk mempertanyakan ini semua. Sepertinya sudah terlambat untuk memutuskan pergi dan membuang perasaan yang kadung mengikatnya.

Orang itu. Orang yang ada dalam doa-doa sepertiga malamnya. Orang yang selalu ia tangisi dan inginkan begitu dalam. Iya, satu-satunya orang yang ia harapkan menjadi awal dan akhir cerita ini.

Suatu hari akhirnya memberikan jawabannya.

Jawaban yang tidak pernah diharapkan oleh si anak kecil yang sudah tidak lagi kecil itu.

Orang itu menjawab dengan tidak memberikan jawaban.

Selama bertahun-tahun perjuangan yang ia harapkan memiliki ending yang spekta, mengharu biru dan penuh warna merah mudah itu sayangnya harus berakhir gamang. Bukan ini yang ia harapkan.

Ia ingin drama tiga babak yang besar. Ia ingin jawaban dari setiap pertanyaan dan rasa sakit yang mengurung dan menyiksanya bertahun-tahun yang ia bawa setiap hari.

Pertanyaan-pertanyaan itu harus berakhir dengan kisah tentang seseorang yang meninggalkan semua pertanyaan yang tidak pernah terjawab.

Anti klimaks.

Namun mau bagaimana lagi?

Rasa kecewa itu. Amarah itu. Perasaan ditinggalkan itu. Kesedihan yang tanpa penyelesaian itu akhirnya membekas dan ia bawa setiap hari.

Setiap hari si anak kecil yang akhirnya beranjak dewasa itu menyadari bahwa tidak memberi jawaban adalah jawaban itu sendiri.

Bukan sebuah akhir yang ia harapkan memang.

Kecewa? Tentu saja.

Marah? Sudah pasti.

Ada hari-hari di mana si anak kecil yang hampir dewasa itu menangis tanpa alasan. Tanpa henti. Menyiksa dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh namun ia penasaran untuk tahu jawabannya. Mencari sosok demi sosok yang mampu menggantikan perasaan itu. Namun sayangnya, lubang itu tidak pernah terisi.

Pertanyan mengenai, seperti apa rasanya diinginkan oleh orang lain? Terlebih oleh orang tersebut.

Apakah sensasinya begitu hebat?

Atau biasa saja?

Atau perasaan itu hanya milik orang-orang tertentu. Bukan dirinya yang memang biasa-biasa saja.

Dan rasa sedih itu pun selalu tinggal dalam dirinya. Tentang seberapa layak dirinya untuk diinginkan dan dicintai orang lain.

Pertanyaan yang sayangnya tidak bisa ia jawab selama bertahun-tahun setelahnya.

Si anak kecil yang kini telah dewasa dan matang itu pun berjalan begitu jauh dari jalan yang seharusnya, menggenggam kesedihan-kesedihan itu dengan erat, tanpa menyadari ia tidak memberikan ruang untuk jenis perasaan dan kenangan lain yang mungkin nantinya ia suka.

Ia terlalu akrab dengan kesedihan dan terlalu takut dengan yang lain. Karena saat menjadi dewasa dan terbiasa, paksaan untuk lepas dan pergi dari sesuatu yang dikenal satu-satunya adalah kesia-siaan. Tidak lebih, tidak kurang

Tentang Mimpi atau Kamu Menyebutnya Sebagai Cita-Cita

Menjadi manusia berumur selalu diidentikan dengan kedewasaan. Karena dengan umur yang banyak biasanya berbanding lurus dengan pengalaman hidup dan kebijaksanaan dalam memandang hal-hal yang dulu hanya dua dimensi saja. Katanya sih.

Saya kurang tertarik menjadi tua, juga menolak ketinggalan hal-hal baru. Mungkin itu yang membuat saya di umur 30 tahun ini serasa seperti terjebak pada diri saya di masa lalu.

Seolah-olah muscle memori kepala ini sesekali bersinapsis dengan memori kolektif belasan tahun lalu saat saya masih SMA.

Omongan, “gila ya, elo masih sama kayak waktu SMA” tentang diri saya masih suka terdengar.

Really?

Kalau ke arah fisik yang masih muda, tentu saja ucapan mereka benar-benar menghina. Semenjak pandemi, tubuh saya berada di berat badan terberat seumur hidup saya. 105 KILO. Ya allah. 100 KILO LEBIH.

Tapi, saya yakin mereka juga tidak bermaksud membahas kolagen di wajah saya yang makin tipis ini.

Mereka cenderung meng-highlight karakter dan kepribadian saya yang tetap menarik (ini sih saya yang ngeklaim sendiri ya. Hehe).

Saya penasaran dengan maksud omongan teman-teman saya tersebut, suatu waktu saya pun menanyakan pertanyaan kurang lebih, “Memang gue waktu SMA kayak gimana deh?”. Karena saya begitu samar-samar mengingatnya. Sudah 12 tahun lebih juga kan.

“Ya, gitu. Everything in your life seems so free. Elo selalu ngelakuin apa yang elo suka. Ngejar apa yang selalu elo pengen. Dan menunjukkan itu semua dengan semangat. Api itu… api itu.. seperti kekuatan yang membuat elo bisa ngetawain semuanya.”

Tentu saja teman saya tidak berbicara selebay itu. Namun kurang lebih makna ucapannya begitulah. Kalau tidak salah. Hehe.

Tapi, sedikitnya saya mengiyakan ucapannya.

Api, semangat, mengejar hal yang saya suka. Tiga kata itu berputar di kepala saya. Lalu saya menyadari satu hal. Bahwa seumur hidup saya selalu ada fase “kesemsem”. Fase di mana saya selalu terpesona dengan banyak hal keren yang saya lihat dan saya ingin menjadi bagian di dalamnya.

Awalnya sepertinya sejak saya menyadari bahwa saya ingin seperti Sarah Sechan di tivi atau menjadi penulis di koran dan majalah yang tante saya selalu baca.

Profesi menjadi penyiar radio lah, vj mtv, penulis, fotografer fashion, pembuat film, atau bekerja di majalah adalah “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” yang mungkin teman-teman saya maksudkan.

Orang-orang menyebutnya sebagai mimpi. Tapi buat saya kala itu, hal-hal itu lebih dari cuma mimpi. Itu semua adalah alasan saya untuk bergerak. Untuk belajar. Untuk berkompetisi.

Meskipun semuanya tidak ada yang kejadian sih. Tapi, dulu…. dulu sekali… hari-hari saya benar-benar diisi dengan SEMUA hal terkait mimpi saya. (Tergantung saya lagi berada di fase yang mana ya).

Contohnya, saat ingin menjadi penyiar, saya dulu mendengar semua radio dan mencatat jokes yang saya suka. Mengolahnya untuk menjadi karakter saya nanti. Bangun pagi tiap hari untuk mendengar penyiar yang saya suka. Menghafal semua lagu yang masuk top 40. Latihan olah vokal dan sering berpura-pura sedang siaran semua saya lakoni.

Lalu ironi itu terjadi. Tepat berumur 18 tahun saya mencoba untuk melamar menjadi seorang penyiar radio di Bogor. Saya masuk lima puluh besar. Dan, sayangnya semua berhenti di situ. Saya kalah. Banyak yang lebih lucu. Banyak yang lebih bagus suaranya. Padahal seumur hidup semua orang selalu bilang suara saya radio voice lah, serak-serak basah lah.

Tapi tidak, para juri itu tidak hanya menilai vokal dan artikulasi saya saja. Mereka menilai penampilan saya yang ngepas banget cenderung bully-able, tempat saya nongkrong, semua yang berhubungan dengan kegaulan di umur saya. Jujur, nilai saya nol semua untuk itu. Back in the days saya cuma anak kampung yang doyan nonton tv, baca buku, dan mendengar radio saja. Kata gaul begitu jauh dari hidup saya.

Tentu saja tidak hanya itu. Saat test siaran selama 2 menit. Saya tergagap. Saya tidak bisa mengenalkan diri saya dengan baik. Padahal seumur hidup saya menginginkan ini semua. Hasilnya? Ya gagal dengan gemilang dong.

Sejak itu saya mengucapkan selamat tinggal pada mimpi menjadi seorang penyiar radio. Ternyata saya tidak sebagus itu. Tidak seberbakat seperti yang saya pikir. Lalu mencari mimpi yang lain.

Waktu berlalu, satu persatu “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” pun saya ucapkan sayonara panjang. Semuanya gagal maning bos. Ucapan, “I’m not cool enough, I’m not good enough, ga punya koneksi, kurang portfolio”, dll adalah penolakan yang sering saya dapat.

Kembali ke masa kini, saat ngobrol dengan teman saya. Saya bercerita balik sepertinya kalau bukan karena mimpi-mimpi dan kegagalan itu entah apa yang akan terjadi dengan hidup saya sekarang.

Saya malah takut sendiri membayangkan menjalani hidup yang gitu-gitu saja.

“Capek ga sih hidup kayak gitu?” tanya teman saya lagi.

Saya berpikir sejenak. Mencoba mencari jawaban yang semoga terdengar pintar dan filosofis. Tapi sayangnya saya tidak menemukan apa pun.

Meskipun banyak gagalnya atau secara presentase gagal semua. Tapi, benar juga sih. Anehnya kok saya masih bertahan saja ya?

Setelah ribuan film yang saya tonton. Ratusan buku yang saya baca. Ratusan draft tulisan yang tidak pernah selesai.

Apa yang saya cari?

Jangan-jangan saya masokis? Ketagihan gagal.

Atau bisa jadi proses dan ratusan kegagalan itulah yang malah membentuk saya. Bukan kesuksesannya.

Karena saya menyadari bahwa dengan mimpi tersebut saya memiliki tujuan untuk bangun dari tempat tidur saya. Untuk bergerak. Untuk berani menjadi sesuatu. Meskipun ga tau kapan akan “make it happen”-nya.

Back to reality, SMA telah 12 tahun berlalu dan semua teman-teman saya sudah berkeluarga semua. Mungkin mereka sendiri telah lupa dengan mimpi mereka masing-masing.

Di pojok kamar saya, saya masih saja sendiri dengan mimpi-mimpi usang itu. Meski tidak sengotot dulu.

“Menyesalkah?” tanya saya pada diri saya sendiri.

Entahlah. Hidup hanya sekali. Rasanya akan terlalu sesak untuk sebuah penyesalan yang sebenarnya tanpa saya sadari telah membantu saya untuk berjalan sejauh ini. Saya juga letih terus menerus feeding luka masa lalu ini.

Kalau gagal, ya sudah. Bangun lagi dan cari yang lain. Saya tidak seberuntung itu untuk bisa berkubang lama-lama dengan rasa dendam dan kegagalan. Capek banget bawa-bawa perasaan “dunia berhutang pada saya”. Mending energinya buat kerjain yang lain deh ah.

Pernah ada yang bilang ke saya bahwa: “Hidup terlalu sebentar untuk diberi sebuah tujuan. Jalani terus saja.”

Maka di tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk the old me, the little me, untuk berani bermimpi dan terus bangkit.

Meskipun saya tau kala itu di depan sana begitu berkabut dan tanpa ujung. Tapi kamu terus berjalan ke sana, tanpa menyesal sama sekali. Kamu lewati semua kegagalan dan jatuh itu. Dan besoknya kamu terus melangkah. Berlari. Jatuh. Menangis. Bangun. Dan melangkah lagi.

Dengan tulus saya ucapkan terima kasih atas itu semua.

source: https://unsplash.com/photos/t6t2-gXKxXM