Kali Ini Tentang Berjalan Maju

Akhirnya sampai juga pada satu persimpangan jalan yang tidak membutuhkan saya, kamu, untuk berkongsi dalam basa basi yang kelewat basi.

Bayangkan dirimu sedang berada dalam ruangan klinik kecantikan yang semuanya berwarna putih pucat dengan diiringi musik klasik yang kamu tidak tahu siapa komposernya. Namun untungnya musiknya cukup bisa membuatmu tenang barang satu dua detik karena seorang dokter kini tengah memasukkan jarum berukuran cukup mengintimidasi ke dalam lapisan dalam kulit mukamu dengan penuh semangat. Tentu saja baiknya kamu memejamkan mata. Karena berkali-kali perawat di sampingmu yang sedari tadi memupuk-mupuk pundakmu yang entah apa fungsinya terus menerus menyuruhmu menarik nafas panjang-panjang.

Sebelum tindakan masokis yang tadi diceritakan, empat puluh lima menit sebelumnya perawat tersebut sudah memberikan anastesi pada wajahmu agar rasa sakit tidak terlalu begitu menyiksa. Meskipun seperti yang kita tahu, rasa sakit itu tetap ada. Kamu masih bisa merasakan dinginnya jarum dan perihnya obat yang dihempaskan ke dalam epidermismu.

Like everyone said, beauty is pain. Surely this one is painful. Reka adegan dalam cerita ini adalah salah satu treatment bernama PRP (platelet-rich plasma). Di mana sang dokter memasukkan serum darah atau salmon DNA langsung ke dalam kulit wajah dengan harapan dapat merangsang bopeng-bopeng pada wajah pasien bisa naik sedikit dan meratakan tekstur kulitnya kembali.

Sudah dua tahun saya rajin melakukan treatment ini. Harganya cukup membuat saya puasa barang seminggu dua minggu. Tapi, hasilnya lumayan sih. Muka saya yang awalnya kusem dan seperti jalanan Lampung yang viral itu, sekarang sudah mayan deh. Meski ga cakep-cakep amat, tapi ya sudah saya nawaitu saja berinvestasi demi kesehatan kulit yang lebih baik.

Setiap proses micro needle dan adegan subsisi dilakukan, saya selalu berusaha memusatkan pikiran pada satu memori yang membuat saya merasa bahagia. Tapi kadang usaha tersebut sia-sia. Karena yang ada saya hanya tertawa cekikian dan malah membuat saya melihat jarum besar tadi dekat wajah. Jiper dong.

Maka, seperti yang diajarkan oleh metode mindfuleness di Youtube dan Podcast yang sering saya dengar. Saya belajar untuk menerima rasa sakit itu. Rasa sakit yang seorang teman pernah bilang pada saya, yang selalu saya cari-cari sendiri. Dan entah mengapa memang rasa sakit selalu membuat saya penasaran dan ketagihan.

Kembali pada adegan jarum yang sedang meradang di wajah saya yang didorong lebih jauh oleh sang dokter. Saya mencoba melatih pikiran saya untuk menolak rasa sakit yang kentara itu. Saya ulang berkali-kali ke alam bawah pikiran saya bahwa saya yang memiliki kendali penuh.

Sayangnya, ketika mengalihkan rasa sakit jarum tadi, sekonyong-konyongnya kepala ini dibawa ke dalam memori yang sudah tidak ingin saya lihat.

Secara autopilot otak ini membawa pada perjalanan masa lalu yang begitu usang. Scene saya yang sedang mengemis pada satu orang dengan begitu menyedihkannya. Kok ada ya orang yang begitu bodohnya mau melakukan itu? Membuat saya yang menontonnya ingin bergerak maju untuk menutup itu semua. Mencabik layar panjang yang seharusnya dari awal tidak ada. Kali ini perasaan sakit tadi berganti menjadi perasaan baru yang tidak pernah muncul sebelumnya. Perasaan ini bernama marah.

Marah yang saya yakin tidak pernah saya sampaikan secara langsung pada orang yang seharusnya mengetahui bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah jahat. Dan tidak seharusnya saya melalui itu semua.

Badan saya begitu kaku, sampai suara dokter di luar memori ini menyadarkan saya untuk lebih rileks.

“Ambil nafas ya, pelan-pelan, lalu buang. Tiga kali ya seperti itu.”

Saya mengambil nafas panjang yang disuruh oleh dokter tadi dan kembali bersisian dengan si marah tadi.

“Hei, maneh! Gelut sini ku urang,” seru saya dalam bahasa Perancis.

Orang di memori itu hanya melihat saya tanpa bergerak sedikit pun.

“Kenapa diam saja? Kamu tau ga di luar sana kamu sudah jahat banget sama saya? Kamu pergi pas saya lagi sayang-sayangnya. Kamu pergi tanpa ngejelasin kenapa ini semua berakhir?” saya menyerocos dengan geram.

“Saya ga pernah bilang ini adalah sesuatu. Kamu yang selalu membuat ini jadi lebih dari mana yang seharusnya. Kamu harus melepaskan ini semua,” sesosok aneh namun cakep itu tiba-tiba berbicara.

“Ga usah ngajarin, jiga kitu aing ge ngarti. What I hate is, why don’t you say something? Why do you just leave like nothing happened?” Saya lebih ngotot lagi.

“Karena memang saya jahat. Dan kamu seharusnya tahu lebih awal. Kamu sudah puas?”

“Ga gini. Masa nyerah gitu aja?” Saya menahan perasaan aneh baru lagi yang membuat saya ingin mendorong dokter dan perawat itu pergi.

“Karena ini terlalu lama, dan kamu seharusnya sudah baik-baik saja.”

Satu sosok itu pun pergi, percakapan imajiner itu selesai. Dan perasaan marah tadi berubah menjadi rasa sedih yang pahit.

Dokter itu semakin dalam menekan jarumnya dan meminta maaf jika kali ini terasa sakit sekali karena bopeng di wajah kanan saya yang begitu dalam.

Saya tidak lagi memejamkan mata saya, pikiran saya begitu bulat dan penuh atas kondisi yang detik ini sedang terjadi. Saya secara sadar dapat melihat dua orang tenaga medis yang sedang membantu saya untuk memiliki kulit yang lebih baik.

“Sakit?” dokter itu bertanya lembut.

Saya pun mengangguk dan tiga menit kemudian treatment ini selesai dengan saya yang menghadapi jarum-jarum itu dengan kondisi sadar.

Memegang rasa sakit begitu lama ternyata tidak membuat saya semakin kuat. Yang saya lupa adalah saya harus bisa mengakhirinya. Karena nantinya akan lebih banyak rasa sakit baru yang menunggu. Hehe aja dulu.

Seperti yang Reza Chandika sering gaungkan tentang filosofi rasa sakit yang saya suka.

Hadapi, jangan lari.

Anehnya setelah selesai menuliskan ini semua, perasaan marah dan sedih itu pun ikut hilang.