Tentang Mimpi atau Kamu Menyebutnya Sebagai Cita-Cita

Menjadi manusia berumur selalu diidentikan dengan kedewasaan. Karena dengan umur yang banyak biasanya berbanding lurus dengan pengalaman hidup dan kebijaksanaan dalam memandang hal-hal yang dulu hanya dua dimensi saja. Katanya sih.

Saya kurang tertarik menjadi tua, juga menolak ketinggalan hal-hal baru. Mungkin itu yang membuat saya di umur 30 tahun ini serasa seperti terjebak pada diri saya di masa lalu.

Seolah-olah muscle memori kepala ini sesekali bersinapsis dengan memori kolektif belasan tahun lalu saat saya masih SMA.

Omongan, “gila ya, elo masih sama kayak waktu SMA” tentang diri saya masih suka terdengar.

Really?

Kalau ke arah fisik yang masih muda, tentu saja ucapan mereka benar-benar menghina. Semenjak pandemi, tubuh saya berada di berat badan terberat seumur hidup saya. 105 KILO. Ya allah. 100 KILO LEBIH.

Tapi, saya yakin mereka juga tidak bermaksud membahas kolagen di wajah saya yang makin tipis ini.

Mereka cenderung meng-highlight karakter dan kepribadian saya yang tetap menarik (ini sih saya yang ngeklaim sendiri ya. Hehe).

Saya penasaran dengan maksud omongan teman-teman saya tersebut, suatu waktu saya pun menanyakan pertanyaan kurang lebih, “Memang gue waktu SMA kayak gimana deh?”. Karena saya begitu samar-samar mengingatnya. Sudah 12 tahun lebih juga kan.

“Ya, gitu. Everything in your life seems so free. Elo selalu ngelakuin apa yang elo suka. Ngejar apa yang selalu elo pengen. Dan menunjukkan itu semua dengan semangat. Api itu… api itu.. seperti kekuatan yang membuat elo bisa ngetawain semuanya.”

Tentu saja teman saya tidak berbicara selebay itu. Namun kurang lebih makna ucapannya begitulah. Kalau tidak salah. Hehe.

Tapi, sedikitnya saya mengiyakan ucapannya.

Api, semangat, mengejar hal yang saya suka. Tiga kata itu berputar di kepala saya. Lalu saya menyadari satu hal. Bahwa seumur hidup saya selalu ada fase “kesemsem”. Fase di mana saya selalu terpesona dengan banyak hal keren yang saya lihat dan saya ingin menjadi bagian di dalamnya.

Awalnya sepertinya sejak saya menyadari bahwa saya ingin seperti Sarah Sechan di tivi atau menjadi penulis di koran dan majalah yang tante saya selalu baca.

Profesi menjadi penyiar radio lah, vj mtv, penulis, fotografer fashion, pembuat film, atau bekerja di majalah adalah “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” yang mungkin teman-teman saya maksudkan.

Orang-orang menyebutnya sebagai mimpi. Tapi buat saya kala itu, hal-hal itu lebih dari cuma mimpi. Itu semua adalah alasan saya untuk bergerak. Untuk belajar. Untuk berkompetisi.

Meskipun semuanya tidak ada yang kejadian sih. Tapi, dulu…. dulu sekali… hari-hari saya benar-benar diisi dengan SEMUA hal terkait mimpi saya. (Tergantung saya lagi berada di fase yang mana ya).

Contohnya, saat ingin menjadi penyiar, saya dulu mendengar semua radio dan mencatat jokes yang saya suka. Mengolahnya untuk menjadi karakter saya nanti. Bangun pagi tiap hari untuk mendengar penyiar yang saya suka. Menghafal semua lagu yang masuk top 40. Latihan olah vokal dan sering berpura-pura sedang siaran semua saya lakoni.

Lalu ironi itu terjadi. Tepat berumur 18 tahun saya mencoba untuk melamar menjadi seorang penyiar radio di Bogor. Saya masuk lima puluh besar. Dan, sayangnya semua berhenti di situ. Saya kalah. Banyak yang lebih lucu. Banyak yang lebih bagus suaranya. Padahal seumur hidup semua orang selalu bilang suara saya radio voice lah, serak-serak basah lah.

Tapi tidak, para juri itu tidak hanya menilai vokal dan artikulasi saya saja. Mereka menilai penampilan saya yang ngepas banget cenderung bully-able, tempat saya nongkrong, semua yang berhubungan dengan kegaulan di umur saya. Jujur, nilai saya nol semua untuk itu. Back in the days saya cuma anak kampung yang doyan nonton tv, baca buku, dan mendengar radio saja. Kata gaul begitu jauh dari hidup saya.

Tentu saja tidak hanya itu. Saat test siaran selama 2 menit. Saya tergagap. Saya tidak bisa mengenalkan diri saya dengan baik. Padahal seumur hidup saya menginginkan ini semua. Hasilnya? Ya gagal dengan gemilang dong.

Sejak itu saya mengucapkan selamat tinggal pada mimpi menjadi seorang penyiar radio. Ternyata saya tidak sebagus itu. Tidak seberbakat seperti yang saya pikir. Lalu mencari mimpi yang lain.

Waktu berlalu, satu persatu “Api, semangat, mengejar hal yang saya suka” pun saya ucapkan sayonara panjang. Semuanya gagal maning bos. Ucapan, “I’m not cool enough, I’m not good enough, ga punya koneksi, kurang portfolio”, dll adalah penolakan yang sering saya dapat.

Kembali ke masa kini, saat ngobrol dengan teman saya. Saya bercerita balik sepertinya kalau bukan karena mimpi-mimpi dan kegagalan itu entah apa yang akan terjadi dengan hidup saya sekarang.

Saya malah takut sendiri membayangkan menjalani hidup yang gitu-gitu saja.

“Capek ga sih hidup kayak gitu?” tanya teman saya lagi.

Saya berpikir sejenak. Mencoba mencari jawaban yang semoga terdengar pintar dan filosofis. Tapi sayangnya saya tidak menemukan apa pun.

Meskipun banyak gagalnya atau secara presentase gagal semua. Tapi, benar juga sih. Anehnya kok saya masih bertahan saja ya?

Setelah ribuan film yang saya tonton. Ratusan buku yang saya baca. Ratusan draft tulisan yang tidak pernah selesai.

Apa yang saya cari?

Jangan-jangan saya masokis? Ketagihan gagal.

Atau bisa jadi proses dan ratusan kegagalan itulah yang malah membentuk saya. Bukan kesuksesannya.

Karena saya menyadari bahwa dengan mimpi tersebut saya memiliki tujuan untuk bangun dari tempat tidur saya. Untuk bergerak. Untuk berani menjadi sesuatu. Meskipun ga tau kapan akan “make it happen”-nya.

Back to reality, SMA telah 12 tahun berlalu dan semua teman-teman saya sudah berkeluarga semua. Mungkin mereka sendiri telah lupa dengan mimpi mereka masing-masing.

Di pojok kamar saya, saya masih saja sendiri dengan mimpi-mimpi usang itu. Meski tidak sengotot dulu.

“Menyesalkah?” tanya saya pada diri saya sendiri.

Entahlah. Hidup hanya sekali. Rasanya akan terlalu sesak untuk sebuah penyesalan yang sebenarnya tanpa saya sadari telah membantu saya untuk berjalan sejauh ini. Saya juga letih terus menerus feeding luka masa lalu ini.

Kalau gagal, ya sudah. Bangun lagi dan cari yang lain. Saya tidak seberuntung itu untuk bisa berkubang lama-lama dengan rasa dendam dan kegagalan. Capek banget bawa-bawa perasaan “dunia berhutang pada saya”. Mending energinya buat kerjain yang lain deh ah.

Pernah ada yang bilang ke saya bahwa: “Hidup terlalu sebentar untuk diberi sebuah tujuan. Jalani terus saja.”

Maka di tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk the old me, the little me, untuk berani bermimpi dan terus bangkit.

Meskipun saya tau kala itu di depan sana begitu berkabut dan tanpa ujung. Tapi kamu terus berjalan ke sana, tanpa menyesal sama sekali. Kamu lewati semua kegagalan dan jatuh itu. Dan besoknya kamu terus melangkah. Berlari. Jatuh. Menangis. Bangun. Dan melangkah lagi.

Dengan tulus saya ucapkan terima kasih atas itu semua.

source: https://unsplash.com/photos/t6t2-gXKxXM