Kadang ada Naif di sana, entah itu dalam bentuk perasaan atau hanya sebuah lagu dari band bernama sama.
Hampir sewindu yang lalu di suatu hari Minggu kita berdua pernah hidup dalam salah satu semesta lagu Naif.
Masih ingatkah kamu saat kita pergi berkeliling Jakarta menggunakan motor abu-abumu, menelusuri satu demi satu jalanan yang baru pertama kali kita lewati?
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada melihat satu dua orang Polisi yang berdiri di pinggir-pinggir jalan. Seolah mereka macam Serigala yang mengintip pelan-pelan mangsanya dan bersiap-siap menerkam saat mendeteksi satu kesalahan yang bisa membuat motor kita berhenti berfungsi lewat hentakan jari mereka saja.
Sakti!
Dan ketika berhasil melewati Polisi-Polisi itu, kita berdua akan tertawa kelewat bahagia. Namun tak lama tawa itu berubah pasi saat menyadari bahwa kita masih tolol akan arah jalan.
“Seharusnya kita tanya Polisinya saja sekalian ya?” tanyanya.
“Tapi nanti kalau kita ditangkap bagaimana?”
“Memang kita salah apa sih sampai Polisi mau menangkap kita?” tanyanya kritis.
“Enggak tau, bukannya memang peraturannya biasanya seperti itu ya? Hindari polisi apa pun yang terjadi?”
Dan kamu pun tertawa, menertawakan kebodohan yang hanya kita berdua yang mengerti.
Kamu melanjutkan perjalanan, mengira-ngira apakah benar saat mengambil arah ke Tanah Abang motor ini bisa berakhir di Menteng.
“Seharusnya tadi kita naik busway saja.”
“Tidak. Aku lebih suka seperti ini. Lebih dekat dengamu. Menciumi baumu. Memelukmu tanpa terhalang apa pun.”
Tak ada respon darimu. Dan kita meneruskan perjalanan dalam diam.
Dengan menebak-nebak belok kanan atau kiri dan menghabiskan waktu bertanya-tanya dengan orang-orang yang sejatinya juga tidak mengetahui arah jalan. Akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke tempat terdekat dengan spesifikasi bisa memakirkan motor dan menjual minuman barang satu atau dua gelas air dingin.
Dan Taman Suropati pun menjadi pilihan.
Rasanya masih sedikit aneh saat aku bisa menyentuhmu. Memegang kulitmu lama-lama dan mengacak-ngacak rambut panjangmu. Bahkan kacamatamu tampak begitu nyata.
Kamu hanya tersenyum kecil.
Kamu benar-benar tidak tahu betapa berarti ini semua untukku. Ini adalah saat kita bertemu dan menyatu dengan kosmik yang ada. Gambaran empat dimensi yang dulu hanya ada di khayalan terliarku.
Dan rasanya menyenangkan saat diri kita tak lagi terpisahkan koneksi internet yang sering kali lelet dan memotong pembicaraan-pembicaran bodoh kita namun aku suka.
Juga rasanya begitu hebat ketika jarak ratusan kilometer kini hanya terpaut nafas. Sedekat itu.
Rasa-rasanyanya aku ingin membungkusmu, menguncinya dengan gembok merk American Tool yang katanya tidak akan terbuka meski dicairi dengan larutan kimia sekalipun. Aku harap gembok itu bisa menahanmu, dan kamu tak perlu pergi lagi.
Sederhananya, aku ingin memilikimu. Hanya untukku. Egoiskah?
“Aku begitu bahagia hingga aku merasa takut” ucapku lirih.
“Kenapa?” mukamu tampak bingung.
“Aku takut ini semua akan cepat berakhir. Jakarta, matahari, kamu.”
“Kalau begitu kristalkan saja.”
“Bagaimana caranya?”
Ia pun mengeluarkan headset dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku, kemudian memberi tanda untuk aku segera memakainya.
Detik kemudian lagu itu pun terputar. Lagu yang nantinya selama delapan tahun ke depan akan selalu mengingatkannya padamu.
Satu buah lagu dari Band Naif yang menjadi pertanda soundtrack kami berdua hari ini.
Aku sedang berjalan, menyusuri relung di hatimu
Aku sedang mencari, sesuatu di balik matamu
Yang mampu membuatku terpesona
Yang mampu membuatku terpesona
“Ini lebih baik dari apa pun.”
Dan kita berdua pun tersenyum malu-malu satu sama lain. Membahasakan sesuatu yang bahkan kita sendiri tidak tahu apa namun yakin ini terasa nyaman dan adiktif, membuatku merasa dimiliki dan diinginkan.
“Setiap kamu kali kamu mau sebagian dari diriku hadir dekatmu, kamu tinggal putar lagu ini.”
“Andai semudah itu.”
“Biarkanlah jadi semudah itu.”
Lagu itu pun terus berputar, menjadi empat menit paling magis yang pernah ada. Dalam sekonnya ia menjerat segala hal yang ada di sekitarnya. Dengan cekatan tiap nada dan liukan suara David Naif merangkaimu pada momen ini. Membentukmu pada memori kolektif yang seperti harapanmu. Lagu ini akan selalu menjadi bagian akan dirimu dalam perspektifku.
Apakah dirimu yang mampu membuat hatiku terpanah asmara
dan kuyakin itulah cinta….
Kepalaku bersandar pasrah di pundakmu, membuatku dapat melihat jelas senti demi senti kulitmu yang begitu indah. Raut senyummu pun begitu dekat. Menyapa tanpa bersuara dan memeluk tanpa menyentuh.
“Andai setiap awal tidak perlu ada akhir,” cetusku.
“Kamu tau itu tidak mungkin. Terlebih pada kita.”
“Seharusnya bisa,” kataku kesal.
“Dan jika iya, semuanya tidak akan semenyenangkan ini. Menyelinap lewati waktu yang kita bahkan terlalu pelit untuk mengakhirinya. Namun bukankah semuanya membuat ini jadi jauh lebih bermakna? Satu detik bersamamu menjadikan aurora warna warni di langit terlihat seperti gulali hitam putih,” katamu coba menghibur.
“Andai semudah itu.”
“Maka biarkanlah jadi semudah itu. Aku mohon, untuk hari ini.”
Aku pun terpaksa mengiyakannya. Melegitimasi semua kebodohan ini. Memberikan ruang sekali lagi untuk melepasmu.
Karena tidak lama, matahari pun berganti warna. Gelap, tanpa spektrum oranyenya. Hanya tersisa pekat yang dingin.
Kamu pun pergi, menjemput dirinya di tempat lain yang sudah menunggumu. Menyudahi hari ini yang bahkan belum genap malam. Dan aku kembali menjadi rahasiamu. Menjadi bayangan dalam ketiadaan.
Sesekali aku pergi ke sana. Pada potongan memori usang yang berputar acak tiap kali lagu itu berputar seperti hari ini.
Setia pada ritrus. Aku menatap pada satu pasang headset yang kamu berikan dan satu lagu yang sengaja kamu tinggalkan.
Delapan tahun sudah. Kamu kini sudah tak lagi bersama dengannya. Pun denganku.
Kita berdua bak dongeng yang muskil akan kebenarannya. Ragu-ragu dengan semua deretan cerita di atas. Atau ini hanya rancu belaka?
Aku pun tak berniat untuk bertanya, masihkah kita mendengarkan lagu yang sama. Basi.
Jika pun iya, akankah semua ini masih relevan? Karena satu buah lagu tidak akan cukup untuk itu.