Maka, menulislah

Benar adanya ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa menjadi penulis adalah pekerjaan paling sunyi di dunia. Ia bergerak dalam diam dan hanya berisi keriuhan isi kepala yang tak seorang pun dapat melihatnya. Terlebih jika kamu hanya seorang penulis mingguan yang hanya menulis di blog jika sedang tidak bisa tidur, dan sepanjang empat tahun telah berganti-ganti outline novel yang tak kunjung-kunjung selesai. Tak ada jejak, tak ada karya, suara-suara itu masih berteriak mengganggumu.

Dapat aku pastikan hidup tersebut sangatlah tidak menyenangkan.

Hidup tak lagi hanya berisi kesunyian saja, namun juga kekalahan. Karena bising di kepala cuma akan berakhir menjadi bunyi yang tak berkesudahan dan tak ada ujung.

Dan satu-satunya cara untuk membunuhnya hanya satu: MENULISLAH atau MATI.

Ulasan Film: ‘Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak’

marlina-the-murderer-in-four-acts

Markus datang tanpa permisi, menerobos masuk, kemudian mengintai sekeliling. Setelah cukup menerka, ia pun duduk pada pusaran.

Tanpa berlama-lama ia dekati Marlina dan membisikkan ancaman serta godaan yang Markus tahu tidak akan bisa Marlina tolak.

Markus menyunggingkan senyum kemenangannya. Pahit bagi Marlina.

Namun, sayangnya, kali ini Markus salah. Dalam diam Marlina tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin segera ia hapus senyum sialan itu di wajah Markus.

Dan setelahnya petualangan Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak pun dimulai.

Film Marlina besutan Mouly Surya mengedepankan pertaruhan yang besar; premisnya tentang perempuan yang melawan kejahatan laki-laki.

Seakan menjadi simbol feminisme sendiri dalam menghancurkan kuku-kuku tajam patriarki di lingkup domestik. Sesuatu yang sebenarnya sering terjadi dalam keseharian.

Berlokasi di Sumba, Marlina ditangkap melalui gambar-gambar wide yang cenderung ekstrim. Menjadikan Marlina sebaga film Indonesia paling cantik tahun ini. Hamparan sabana yang luas membuat Marlina tampak begitu kecil. Seolah ingin mengkomunikasikan bahwa kini ia hanya tinggal sendiri melawan semuanya.

Dalam film ini, narasi perlawanan perempuan di tiap babaknya dengan spektakuler diargumentasikan dengan cerdik oleh Mouly.

Ia menghadirkan isu pemerkosaan, sesuatu yang selama ini masih membelit para korbannya di Indonesia.

Scene tersebut dimunculkan Mouly dengan kontras yang mengulur-ngulur. Menggambarkan dengan jelas akan bagaimana sistem birokrasi, terutama kepolisian, merespon isu tersebut.

Betapa tersiksanya saya ketika menonton adegan Marlina yang menunggu panggilan dari Polisi yang sedang bergantian bermain pingpong. Sesuatu yang sangat tidak relevan.

Emosi penonton pun terjerat akan akting cemerlang Marsha Timoty yang diembodikan tanpa meluap-luap namun akan menghantui tiap-tiap kepala yang menontonnya.

Teror akan kesakitan korban pemerkosaan seolah tidak berhenti, Sang Polisi yang mencatat laporan Marlina bertindak tanpa sensitivitas yang ajek.

Seakan trauma dan kesakitan yang Marlina hadapi hanyalah bersifat naratif dan numerik.

Berapa banyak yang memerkosa? Bagaimana semua berlangsung? Mengapa kamu mau diperkosa oleh yang lebih tua?

Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut Polisi tersebut terasa sangat bebal, jika tidak mau dibilang bodoh. Scene tersebut begitu nyata. Begitu dekat.

Kesemuanya seakan menyayat peluru terakhir Marlina. Tidak ada yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri dan mungkin Novi. Sahabatnya.

Yang ternyata bernasib sama sialnya dengan dirinya. Novi terkena stigma lama akan tubuhnya. Kehamilannya diperdebatkan banyak orang, karena sudah lewat 10 bulan sang anak diprediksi sungsang.

Sebuah indikasi akan ketidakpatuhan perempuan terhadap laki-laki. Alasan yang datang karena ia dan sang suami sudah tidak berhubungan badan selama tiga bulan terakhir. Kecurigaan itu muncul dari sana dan tentu saja lidah tajam sang mertua.

Layaknya Marlina, Novi pun bertahan. Berjuang dalam ketidakadilan.

Sayangnya dalam film Marlina, babak demi babak berjalan dengan pelan tanpa konflik yang berarti pada antar karakter di tiap babaknya. Sepinya gesekan tersebut membuat satu jam terakhir film ini terasa datar, meski tidak hambar, namun pengulangan-pengulangan scene yang sudah terjadi di awal tidak membuat saya terkesan. Kekurangan tersebut bagi saya pribadi gagal dalam menggugurkan ekspektasi tinggi akan film Marlina.

Kedalaman emosi dan konflik Marlina serta Novi sebenarnya bisa tuntas dengan cepat tanpa membutuhkan waktu selama satu setengah jam.

Meski begitu, eksekusi dan presentasi Marlina tak diragukan lagi. Gambarnya kelas dunia! Semua yang hadir di dalamnya begitu poetic dan membekas. Sup ayam dan sate kambing seolah menjadi simbol ketakutan tersendiri setelah menyaksikan film ini.

Terlebih ditambah musik yang menggetarkan dari tangan Zeke yang mampu mengisi nuansa ketegangan mencekam di dalam film ini.

Akhir kata, kekuatan Marlina seolah bukan karena ia menenteng-nenteng kepala pemerkosanya dan berkendara dengan kuda. Marlina lebih besar daripada simbol maskulinitas seperti itu.

Dengan jelas terpampang bahwa kekuatan Marlina berasal dari keengganannya untuk tunduk dalam ancaman dan kelaliman. Terlebih jika itu datang dari laki-laki.

Mendengarkan Naif Lewat Sepasang Headset Butut

Kadang ada Naif di sana, entah itu dalam bentuk perasaan atau hanya sebuah lagu dari band bernama sama.

https://unsplash.com/photos/n-N38MTOaoI

Hampir sewindu yang lalu di suatu hari Minggu kita berdua pernah hidup dalam salah satu semesta lagu Naif.

Masih ingatkah kamu saat kita pergi berkeliling Jakarta menggunakan motor abu-abumu, menelusuri satu demi satu jalanan yang baru pertama kali kita lewati?

Tidak ada yang lebih menakutkan daripada melihat satu dua orang Polisi yang berdiri di pinggir-pinggir jalan. Seolah mereka macam Serigala yang mengintip pelan-pelan mangsanya dan bersiap-siap menerkam saat mendeteksi satu kesalahan yang bisa membuat motor kita berhenti berfungsi lewat hentakan jari mereka saja.

Sakti!

Dan ketika berhasil melewati Polisi-Polisi itu, kita berdua akan tertawa kelewat bahagia. Namun tak lama tawa itu berubah pasi saat menyadari bahwa kita masih tolol akan arah jalan.

“Seharusnya kita tanya Polisinya saja sekalian ya?” tanyanya.

“Tapi nanti kalau kita ditangkap bagaimana?”

“Memang kita salah apa sih sampai Polisi mau menangkap kita?” tanyanya kritis.

“Enggak tau, bukannya memang peraturannya biasanya seperti itu ya? Hindari polisi apa pun yang terjadi?”

Dan kamu pun tertawa, menertawakan kebodohan yang hanya kita berdua yang mengerti.

Kamu melanjutkan perjalanan, mengira-ngira apakah benar saat mengambil arah ke Tanah Abang motor ini bisa berakhir di Menteng.

“Seharusnya tadi kita naik busway saja.”

“Tidak. Aku lebih suka seperti ini. Lebih dekat dengamu. Menciumi baumu. Memelukmu tanpa terhalang apa pun.”

Tak ada respon darimu.  Dan kita meneruskan perjalanan dalam diam.

Dengan menebak-nebak belok kanan atau kiri dan menghabiskan waktu bertanya-tanya dengan orang-orang yang sejatinya juga tidak mengetahui arah jalan. Akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke tempat terdekat dengan spesifikasi bisa memakirkan motor dan menjual minuman barang satu atau dua gelas air dingin.

Dan Taman Suropati pun menjadi pilihan.

Rasanya masih sedikit aneh saat aku bisa menyentuhmu. Memegang kulitmu lama-lama dan mengacak-ngacak rambut panjangmu. Bahkan kacamatamu tampak begitu nyata.

Kamu hanya tersenyum kecil.

Kamu benar-benar tidak tahu betapa berarti ini semua untukku. Ini adalah saat kita bertemu dan menyatu dengan kosmik yang ada. Gambaran empat dimensi yang dulu hanya ada di khayalan terliarku.

Dan rasanya menyenangkan saat diri kita tak lagi terpisahkan koneksi internet yang sering kali lelet dan memotong pembicaraan-pembicaran bodoh kita namun aku suka.

Juga rasanya begitu hebat ketika jarak ratusan kilometer kini hanya terpaut nafas. Sedekat itu.

Rasa-rasanyanya aku ingin membungkusmu, menguncinya dengan gembok merk American Tool yang katanya tidak akan terbuka meski dicairi dengan larutan kimia sekalipun. Aku harap gembok itu bisa menahanmu, dan kamu tak perlu pergi lagi.

Sederhananya, aku ingin memilikimu. Hanya untukku. Egoiskah?

“Aku begitu bahagia hingga aku merasa takut” ucapku lirih.

“Kenapa?” mukamu tampak bingung.

“Aku takut ini semua akan cepat berakhir. Jakarta, matahari, kamu.”

“Kalau begitu kristalkan saja.”

“Bagaimana caranya?”

Ia pun mengeluarkan headset dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku, kemudian memberi tanda untuk aku segera memakainya.

Detik kemudian lagu itu pun terputar. Lagu yang nantinya selama delapan tahun ke depan akan selalu mengingatkannya padamu.

Satu buah lagu dari Band Naif yang menjadi pertanda soundtrack kami berdua hari ini.

Aku sedang berjalan, menyusuri relung di hatimu
Aku sedang mencari, sesuatu di balik matamu
Yang mampu membuatku terpesona
Yang mampu membuatku terpesona

“Ini lebih baik dari apa pun.”

Dan kita berdua pun tersenyum malu-malu satu sama lain. Membahasakan sesuatu yang bahkan kita sendiri tidak tahu apa namun yakin ini terasa nyaman dan adiktif, membuatku merasa dimiliki dan diinginkan.

“Setiap kamu kali kamu mau sebagian dari diriku hadir dekatmu, kamu tinggal putar lagu ini.”

“Andai semudah itu.”

“Biarkanlah jadi semudah itu.”

Lagu itu pun terus berputar, menjadi empat menit paling magis yang pernah ada. Dalam sekonnya ia menjerat segala hal yang ada di sekitarnya. Dengan cekatan tiap nada dan liukan suara David Naif merangkaimu pada momen ini. Membentukmu pada memori kolektif yang seperti harapanmu. Lagu ini akan selalu menjadi bagian akan dirimu dalam perspektifku.

Apakah dirimu yang mampu membuat hatiku terpanah asmara
dan kuyakin itulah cinta….

Kepalaku bersandar pasrah di pundakmu, membuatku dapat melihat jelas senti demi senti kulitmu yang begitu indah. Raut senyummu pun begitu dekat. Menyapa tanpa bersuara dan memeluk tanpa menyentuh.

“Andai setiap awal tidak perlu ada akhir,” cetusku.

“Kamu tau itu tidak mungkin. Terlebih pada kita.”

“Seharusnya bisa,” kataku kesal.

“Dan jika iya, semuanya tidak akan semenyenangkan ini. Menyelinap lewati waktu yang kita bahkan terlalu pelit untuk mengakhirinya. Namun bukankah semuanya membuat ini jadi jauh lebih bermakna? Satu detik bersamamu menjadikan aurora warna warni di langit terlihat seperti gulali hitam putih,” katamu coba menghibur.

“Andai semudah itu.”

“Maka biarkanlah jadi semudah itu. Aku mohon, untuk hari ini.”

Aku pun terpaksa mengiyakannya. Melegitimasi semua kebodohan ini. Memberikan ruang sekali lagi untuk melepasmu.

Karena tidak lama, matahari pun berganti warna. Gelap, tanpa spektrum oranyenya. Hanya tersisa pekat yang dingin.

Kamu pun pergi, menjemput dirinya di tempat lain yang sudah menunggumu. Menyudahi hari ini yang bahkan belum genap malam. Dan aku kembali menjadi rahasiamu. Menjadi bayangan dalam ketiadaan.

Sesekali aku pergi ke sana. Pada potongan memori usang yang berputar acak tiap kali lagu itu berputar seperti hari ini.

Setia pada ritrus. Aku menatap pada satu pasang headset yang kamu berikan dan satu lagu yang sengaja kamu tinggalkan.

Delapan tahun sudah. Kamu kini sudah tak lagi bersama dengannya. Pun denganku.

Kita berdua bak dongeng yang muskil akan kebenarannya. Ragu-ragu dengan semua deretan cerita di atas. Atau ini hanya rancu belaka?

Aku pun tak berniat untuk bertanya, masihkah kita mendengarkan lagu yang sama. Basi.

Jika pun iya, akankah semua ini masih relevan? Karena satu buah lagu tidak akan cukup untuk itu.

Ulasan Film My Generation: Me vs Parents

075939500_1507776200-DLR6pSWUIAAKMnc

Sebuah liburan yang merubah segalanya….

Film My Generation dibuka dengan VLOG (video blog) ke empat tokohnya; Konzi, Zeke, Suki, dan Orly. Mereka semua menatap lurus ke depan kamera dengan berapi-api, menumpahkan seluruh unek-unek dan kekesalan mereka pada ketidakadilan sistem pendidikan yang mereka jalani sebagaimana anak-anak sekolah pada umumnya. Pertanyaan berikutnya, siapa sih yang tidak?

Untuk mereka yang tumbuh dan berkembang di daerah dunia ke tiga seperti Cibinong, melihat scene awal film My Generation yang diisi dengan para pemainnya yang rupawan, stylish, dan lengkap dengan kecanggihan teknologi yang mereka miliki, sudah dipastikan bahwa mereka berempat merupakan anak-anak borju yang bermasalah dengan hidupnya.

Lalu, apakah film ini kemudian akan bergerak menjadi cerita yang superficial?

Tentang anak-anak orang kaya yang manja dan tidak puas dengan privilege yang mereka miliki dibanding remaja-remaja lainnya di belahan dunia lain?

Atau film My Generation adalah film perusak moral seperti yang dibicarakan dan dikecam oleh banyak-banyak orang di media sosial?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita mulai dengan melihat motivasi dari cerita film My Generation itu sendiri.

A few years ago, kita tentu masih mengingat bagaimana rasanya menjadi seorang remaja di umur 15-17an tahun. Feeling outcast, di mana pencarian jati diri dan tekanan untuk menuju gerbang orang dewasa begitu menyiksa. Semua kita jalani dengan tertatih-tatih namun pasti. Kadang ada yang berhasil, namun banyak juga berisi kegagalan.

Semua itu terjadi karena:

  1. Kesemua nilai-nilai yang dulu tertanam oleh orangtua seakan bertolak belakang ketika menginjak masa remaja.
  2. Tidak ada les khusus untuk menjadi anak yang sempurna di dunia ini. Karena sayangnya, tidak ada yang sempurna dalam hidup. Namun masih ada orang tua yang mengharapkan kesempurnaan semu itu.
  3. Ketertarikan untuk mengeksplore tubuh, pertemanan, dan tentu saja cinta menjadi tidak terintegrasi dengan peraturan dan moral value yang orang-orang tua telah set tinggi-tinggi.
  4. Seolah semakin anak tumbuh dewasa komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak pelan-pelan terputus dan berubah menjadi dinding besar dan dingin di antara mereka. Semacam teritori atas ketidakmengertian masing-masing individu.
  5. Orang tua menginginkan menempelkan ambisi mereka pada anak, dan anak ingin mereka dilihat sebagai diri mereka sendiri. Seutuhnya. Bukan apa yang orang tua ingin lihat dari mereka.

Dari sana masing-masing orang seolah lupa bagaimana berbicara satu sama lain tanpa harus berteriak dan berbeda pendapat.

Seperti yang diutarakan Stanley Hall, ia menjelaskan bahwa saat remaja mereka akan mengalami “storm & stress” dalam kehidupan. Jelas, semuanya tidak akan sesederhana dulu lagi.

Keseluruhan ironi itu menjadi penggerak cerita dalam film My Generation.

Kita dapat melihat bahwa film My Generation ingin menangkap momen tersebut, mengargumentasikan suara remaja di periode waktu di mana mereka merasa tidak ada yang dapat memahami mereka sendiri kecuali teman-teman mereka.

Keseluruhan film ini tentang itu semua. Eratnya persahabatan yang mengalahkan kungkungan orang tua yang konservatif dan alot.

Akting dan Set Syuting Yang Keren

Membuat film untuk para milenial tentu saja Upi harus masuk ke dalam dunia mereka. Para milenial kini lebih fasih berbahasa inggris dibanding generasi sebelumnya. Terlepas mereka adalah blasteran atau bukan, namun harus diakui bahwa ekspresi komunikasi mereka ada di sana. Dan Upi menjembati transisi bahasa itu.

Kebanyakan film ini menggunakan bahasa inggris dengan translation yang seru dan tidak kaku.

Artikulasi dan pembawaan yang keren dari para pemainnya pun membuat ruh film ini menjadi hidup dan enerjetik.

Masing-masing karakter muncul dengan keunikan masing-masing. Yang paling membekas buat saya adalah karakter Mbak Anda sebagai Orly di sini. Ia feminis muda yang percaya dengan bumi itu datar. Kekocakan kekocakan dalam tiap diskusi dirinya dan sang pacar membuat film My Generation memuat banyak konten menarik yang menggambarkan generasi sekarang lebih global dan kritis lewat cara mereka sendiri.

Akting dari para aktor-aktor muda ini dari adegan mereka bersenang-senang, sedih, dan marah tergambarkan dengan sempurna. Mereka seakan benar-benar menjadi diri mereka sendiri.

Konflik dari masing-masing karakter dalam film My Generation merupakan sesuatu yang sering terjadi di kehidupan sosial media saat ini. Jadi penting sekali untuk melihat film ini sebagai suatu potongan kehidupan para milenial yang cukup akurat.

Harus diakui bahwa menjadi remaja bukanlah hal yang paling menyenangkan di dunia ini, namun bukan berarti semua orang harus kalah dengan itu. Film My Generation menjawab keresahan itu dengan kisah orang tua yang pada akhirnya membuka pikiran mereka untuk lebih bisa menerima anak remaja mereka apa adanya.

Bahwa pada akhirnya, keluarga yang akan selalu ada. Pesan yang Upi sampaikan hadir dengan praktis tanpa bertele-tele.

Pengalaman Sinematik dalam Semesta Upi

Menonton film My Generation karya Upi seperti mengintip masuk ke dalam keseruan lika-liku dunia geng paling cool di film Indonesia setelah geng Cinta di AADC.

Seperti karya-karya Upi terdahulu, Upi sangat luwes dalam mempresentasikan keseruan anak-anak muda dan membuatnya tampak menarik. Terbaiknya film-film Upi selalu meninggalkan kesan mendalam ketika kita keluar dari pintu bioskop. Kesan itu akan lama tertinggal dan membentuk tren baru tiap masanya.

Masih teringat jelas saat saya kelas 2 SMP dulu ketika menonton film Upi berjudul 30 Hari Mencari Cinta. Betapa jenaka, hangat, dan menyesakkan di akhir.

Dari sana permainan 30 hari untuk memiliki pasangan menjadi seru untuk dilakukan. Yang mana, sudah pasti saya gagal dengan gemilang.

Persahabatan para tokoh di film-film Upi pun hadir dengan begitu meyakinkan. Baik itu dalam My Generation, Realita Cinta dan Rock n Roll ataupun My Stupid Boss. Upi piawai dalam menyajikan perfect comic timing dengan dialog-dialog nyeleneh yang membuat para penontonnya seperti melihat diri mereka sendiri dalam film-film Upi.

Upi berhasil menciptakan semestanya sendiri dan membuat penontonnya ingin menjadi seperti tokoh-tokoh yang ada di dalamnya di kehidupan nyata; seperti apa yang mereka pakai, mereka ucapkan, dsb.

Saat Realita Cinta dan Rock n Roll sukses di eranya, semua anak-anak cowok di SMA kegandrungan dengan style emo  yang memamerkan tubuh lean mereka. Keberhasilan tersebut menjadikan  film-film Upi sebagai trendsetter dalam dunia fashion maupun pop culture Indonesia itu sendiri.

Harus diakui, Upi benar-benar berhasil menyuarakan suara anak muda dari jaman ke jaman dengan konsisten pada tren di tiap tiap masanya. Masalah-masalah yang tidak banyak orang bicarakan berani Upi munculkan di sana dengan gayanya sendiri.

Karena Upi tahu, setiap anak muda memiliki suaranya sendiri yang ingin didengar.

Selamat untuk Upi atas film My Generation! Sebuah pencapaian sinematik film remaja yang keren sekali!

 

Yakin Mau Beli Mobil Online?

banner-momobil-blog-competition

Seorang teman datang dengan muka cerah dan gembira. Ia bercerita ingin membeli mobil pertamanya lewat bonus tahunan kantornya.

Sebuah prestasi yang membanggakan, karena akhirnya ia dan keluarga kecilnya dapat memiliki sebuah kendaraan yang bisa membawa mereka pergi dengan nyaman dari Bogor ke Bekasi di tempat sang anak bisa bertemu Kakek dan Neneknya.

Namun mendadak raut muka cerah itu perlahan redup setelah ia mengetahui bahwa ada begitu banyak persyaratan dan uang ‘lain-lainnya’ yang tidak sedikit untuk ia keluarkan demi si mobil pertamanya.

Ada sedikit keurungan hatinya untuk membatalkan niat awalnya.

Namun sebelum ia terburu-buru membanting setir mimpi bahagianya untuk keluarga kecilnya. Saya segera mengeluarkan sebuah handphone kecil dan menyerahkannya padanya.

‘Untuk apa handphone kecil itu?’ tanyanya bingung.

Lalu dengan gesit saya langsung mengetik di mesin pencarian internet akan jenis mobil yang ingin ia miliki. Tidak berapala lama, ratusan artikel tentang mobil tersebut berhamburan di layar handphone kecil itu.

‘Beli online saja. Ga ribet!’ tawarku padanya.

‘Memang aman?’ tanyanya ragu.

‘Menurut artikel ini dijelaskan bahwa setidaknya ada 210 ribu unit mobil dan 250 ribu unit motor terjual tiap bulannya lewat perdagangan online. Jadi kenapa masih ragu?’ jawabku menenangkan.

‘Lalu, aku harus beli di mana?’ tanyanya mulai tertarik.

‘Tenang, ada momobil.id situs jual beli mobil online terpercaya! Jual beli mobil kini dapat dilakukan dengan mudah, aman, dan nyaman. Kamu hanya tinggal pilih jenis mobil yang kamu mau di website momobil, lalu lengkapi data diri kamu, dan tunggu konfirmasi dari pihak Momobil dan vice versa kamu bisa bawa pulang mobil yang kamu impikan. Jenis pembayarannya pun beragam. Kamu bisa melakukan cicilan tanpa terbebani. Keren kan?’

Mata teman saya pun kembali berbinar. Seolah menemukan kembali harapan untuk membawa pulang kebahagiaan pada keluarganya. Dengan aktivitas pembelian online tersebut ia tidak perlu takut kena tipu harga kemahalan dari para pedagang-pedagang mobil yang belum jelas keasliannya. Juga ia tidak perlu ragu akan kondisi kondisi mobil yang ia mau karena sudah melewati proses Quality Control yang mumpuni.

Dengan tergesa-gesa sang teman itu pun pamit pulang.

‘Mau ke mana?’ tanyaku heran.

‘Mau ke rumah pesan di sana.’

‘Lah ngapain? Pake saja laptopku dan kamu bisa tanya langsung dengan customer service momobil yang siap menjelaskan semuanya!’.

Ia memukul kepalanya pelan sambil tertawa. Ia lupa bahwa kini semua orang sudah terhubung dengan internet begitu gampang.

Tiada ragu, temanku langsung kembali ke dalam rumah dan mulai memilih mobil mana yang pas untuk ia pajang di garasi rumah dia nanti.

Betapa mudah hidup kini!

IMG_4957