Belajar Berkata Tidak Pada Diri Sendiri

Coba bayangkan elo hanya memiliki uang tersisa sebesar seratus ribu rupiah untuk elo manfaatkan selama satu minggu untuk bertahan hidup.

Sebagai manusia yang berfikir tentu saja elo akan menghemat uang tersebut, membaginya untuk beberapa hari ke depan.

Itu adalah basic strategy yang gue rasa anak SD yang baru belajar baca juga bakal tau.

Sebagai manusia dewasa yang mengetahui bahwa elo hanya memiliki budget terbatas selama satu minggu ke depan. Tentu saja elo akan berkata tidak pada setiap diskon makanan 50% di jam sepuluh malam. Elo pasti akan secara sadar 100% menghindari aktivitas ekonomi apa pun yang akan mengurangi uang di kantong elo itu.

Karena,

Satu, elo habis fitnes. Percuma aja dua jam elo RPM dan Body Combat sampai badan elo kaku enggak bisa gerak kalau pada akhirnya elo akan malem juga.

Kedua, itu makanan beku, yang sudah enggak laku pula, pasti ada alasan kenapa mereka enggak laku.

Ketiga, duit elo cuma fucking tinggal selembar-lembarnya dan harus bertahan sampai seminggu ke depan.

Tapi semua alasan logis itu lenyap tanpa arti. Karena apa?

Gue dengan kasualnya mengambil dua kotak sushi yang kata promonya; gue cukup dengan membayar satu kotak saja. Lalu gue sebagai si budak makanan yang selalu lemah dengan sushi dan makanan diskon lainnya ini pun tentunya tidak terkejut ketika harus membayar makanan yang katanya diskon itu sebesar 97 ribu.

Tanpa pikir panjang gue pun mengeluarkan uang yang tinggal selembar-lembarnya itu seperti kerbau yang dikebiri.

Lalu momen di mana gue duduk dan ngegigit salmon yang tipis dan hambar itu, otak ini pun resmi baru bekerja, dan menyadari bahwasanya:

Satu, uang gue habis.

Kedua, sushinya enggak enak.

Ketiga, gue hanya mengulang hal yang sama setiap kali gue berada di kondisi di mana gue seharusnya bijak saat menggunakan uang. Alih-alih, malah gue habiskan ke makanan yang enggak enak.

Gue berusaha menghabiskan sushi hambar itu di pojokan dengan perasaan biasa saja. Tapi gagal. Semakin gue makan sushi tersebut, semakin gue mengutuki diri gue sendiri.

Yang paling parah lagi, otak gue mulai membuat skenario berjudul, Bagaimana Jika.

Yaitu adegan di mana gue akan membayangkan apa yang terjadi jika gue memakai uang 100 ribu itu dengan membeli paket wing stop yang cuma 60 ribuan, atau paket hemat hoka hoka bento yang cuma 20 ribuan, atau kebab jalanan yang cuma 15 ribuan, atau gue bisa nahan laper, lalu pulang ke rumah dengan damai kemudian tidur. Pastinya duit gue masih utuh. Lalu selama seminggu ke depan gue masih bisa hidup.

Semakin otak ini berfikir, gue semakin benci dengan keputusan membeli sushi beku sialan tadi.

Kenapa sih gue susah banget untuk bilang enggak pada sesuatu yang pada akhirnya hanya akan membuat gue menyesal? Ini baru sesepele masalah makanan. Bagaimana nanti dengan yang lain?

Setelah gue inget-inget lagi banyak banget kesalahan di hidup gue yang terjadi karena tindakan terburu-buru dan ketidakhati-hatian gue dalam mengkalkulasikan impact yang akan terjadi setelahnya.

Gue rasa gue lebih hina dibandingkan keledai yang selalu digambarkan sebagai makhluk bodoh yang tidak pernah belajar dari kesalahannya.

Tidakan gue seperti: menyesal dulu, berfikir kemudian.

ITU SALAH BANGET. Karena elo enggak butuh melakukan banyak kesalahan dalam hidup untuk tau itu SALAH.

Gue bahkan merasa gagal sebagai seorang netizen yang selalu men-share artikel menghemat uang di social media. Karena pada praktiknya, gue gagal secara sukses.

Kemudian gue pun pulang dengan perut yang jauh dari kata kenyang sambil terus meratap ke arah gerai wing stop yang sedang ada promo paket cheese fried fries dan ayam goreng yang mengkilap-kilap lengkap dengan berbagai varian rasa yang pasti crispy dan enak banget.

Nasib.

THE MACCABEES

Hujan di Jakarta begitu mengerikan. Dengan petir dan awan hitamnya yang mengamuk, membuat semua orang ngeri untuk keluar. Bahkan tak ada anak kecil yang sudi bermain dengan lebat airnya. Dari balik kaca kantor, saya melihat buliran-buliran air yang tidak berhenti turun.

Cradle me

I’ll cradle you

I’ll win your heart with a woop-a-woo

Pulling shapes just for your eyes

Tiba-tiba dari Spotify, satu lagu yang dulu saya dengar tiap harinya berputar dengan santainya.

Dengan beberapa detik musik intro tersebut, berhasil membawa saya pada satu memori sekitar empat tahun silam. Satu keping cerita tentang saya dan D.

Kala itu hujan begitu lebat, kami sedang berada di hotel sekitaran Depok. Ada acara pernikahan dan saya mengajaknya untuk menjadi fotografer menemani saya. Saat acara selesai kami berdua pergi menuju ke satu kamar hotel yang sudah disediakan.

Lelah memotret seharian, kami memutuskan untuk langsung tidur. Saya yang tidak tidur semalaman tentu saja menjadikan momen ini sebagai pembalasan. Saya ingin tidur senyenyak-nyenyaknya sebelum check out jam sembilan malam nanti.

Lima belas menit berlalu, kami hanya menghabiskan waktu dalam diam. D akhirnya hanya bermain game di handphonenya. Dari samping saya mengamati wajahnya yang begitu serius, dia sedang melepas kaca matanya. Garis mukanya yang bundar dan hidungnya yang besar terlihat seperti tokoh di komik-komik. Lalu bulu matanya yang lentik membuat saya tidak bisa berhenti tersenyum.

Di mata saya, dia sempurna kala itu. Dia sempurna dengan ketidaksempurnaannya.

Dan saat itu, saya begitu jatuh cinta dengannya.

Kami yang akhirnya bersama dan tidak terpisahkan jarak delapan jam di kereta ekonomi tentu saja jadi kebahagiaan tersendiri buat saya.

Saya mendekat ke arahnya, menempelkan kepala saya di badannya. Saya menggapai wajahnya perlahan. Kami berciuman sesaat, dan ia pun melanjutkan permainanya kembali.

 Saya berbisik lirih padanya, ‘I hope it’s gonna last forever’.

 So with toothpaste kisses and lines

I’ll be yours and you’ll be

Lay with me, I’ll lay with you

We’ll do the things that lovers do

Put the stars in our eyes

Dia menaruh handphonenya, menatap mata saya dengan senyum jahilnya. Kemudian kami pun kembali berciuman. Kali ini lebih lama, mata kami terpejam, nafas kami bertaut menjadi satu. Saya masih ingat bagaimana wangi parfum lavendernya yang menelusuk ke hidung saya saat itu, meninggalkan jejak memori seperti sekarang. Setiap detail kulit kami yang bersentuhan, bagaimana rasa asam dan manis dari bibirnya, dan bunyi deras hujan dari luar menjadikan momen itu begitu intim. Dunia mengecil dan hanya menyisakan kami berdua.

Setelah selesai dia hanya berkata, ‘tidur saja sekarang, you haven’t sleep all day’.

Dan di tengah hujan yang deras, yang menjaganya untuk tidak pulang, dia berada tepat di jangkauan tangan saya. Saya masih ingat panas tubuhya yang menghangatkan, jugapelukan tangannya ditubuh saya.

 Semua masih begitu jelas, meski hingga saat ini.

 ‘Do you love me,’ tanya saya.

‘I’m afraid I don’t love you,’ jawabnya jahil.

‘Really? Please, please, please love me,’

Menyedihkan, kami berdua tertawa dengan alasan yang berbeda.

Mata saya tak kuasa menahan lebih lama lagi. Detik berikutnya saya akhirnya terlelap dengan damainya.

Beberapa jam kemudian, saya terbangun dengan suara pintu yang terbuka, dalam kondisi masih setengah kantuk, saya tidak tahu apa ini dalam mimpi atau betulan. Saya melihat D pergi, membawa semua barangnya, tak menyisakan apa pun.

Dalam kondisi setengah sadar, saya mengucapkan, ‘jangan pergi’, mungkin gaungnya begitu lirih hingga D tidak dapat mendengarnya.

Malamnya saya terbangun, melihat tidak ada siapa pun di kamar hotel tersebut. Tidak ada pesan selamat tinggal atau apa pun. Hanya kekosongan yang menganga dari dalam. Harum wangi lavender masih menempel di bantal di samping saya.Hujan yang deras di luar sana, dinginnya AC kamar, ditambah saya hanya seorang diri, mendadak menjadi serangan rasa sepi yang begitu dalam.

Ia pergi lagi. Hanya itu yang berputar di kepala saya. Saya mengulang kata tersebut dalam diam.

Saya akhirnya keluar dari kamar dengan pertanyaan yang tersisa, apakah D benar-benar mencintai saya?

And with heart shaped bruises

And late night kisses, divine

So with toothpaste kisses and lines

Stay with me, I’ll stay with you

Doin’ things that lovers do

What else to do?

Saya kembali ke masa sekarang. Di depan laptop yang berisi banyak list pekerjaan dengan deadline hari ini. Saya pun menyudahi throwback dengan D. Mengganti lagu di playlist Spotify saya. Tapi sayangnya hujan masih begitu deras meradang.

Saat hendak mengambil minum, terbesit pemikiran di benak saya, secuil pertanyaan, apakah yang terjadi saat itu; ciuman kami, canda kami, adalah nyata atau hanya terjadi dalam mimpi saya saja?

 Entahlah.