The Meaningless Sex

Have you ever got so tired of work and at home that you ended up jerking off instead of doing anything that particular before bed?

Or do you simply match with one of the dating apps people and you end up renting a room for an hour having intercourse without any talk and just finishing the business?

It becomes a habit and so natural to do so till you realize the sex just means nothing. It’s so robotic and template.

I still remember my first sex, my first kiss, it’s all meaningless.

It’s just lust. It’s never been love. What do I know about love? I have never been in love, I was just obsessed with someone to another.

And at the end of the day, after writing this nonsense bullshit, I still crave someone’s breath on my skin, to touch somebody’s hair, or simply a goodnight kiss.

I was so ineffectual in any form until I couldn’t feel anything.

The end.

Lagi Lagi Tentang Kehilangan dan Rasa Sepi yang Menusuk

Hari itu terlalu pagi untuk menjadi pagi. Pagi yang biasa ia jalani adalah jam delapan. Namun bisa juga jam tujuh jika sedang rajin. Kini di jam empat pagi ia sudah memulai harinya. Tanpa aba-aba, tanpa tujuan. Ia hanya ingin terbangun untuk sesuatu yang ia tidak mengerti.

Ia bermimpi tentang satu orang di masa lalu yang pernah meninggalkan penolakan yang begitu dalam selama bertahun-tahun di hidupnya.

Perasaan tidak berharga dan tidak layak, perasaan yang hanya ada di kepalanya saja.

Maka hari itu pun resmi menjadi drama kesepian yang kerap kali harus ia mainkan dengan begitu payah karena ia sendiri pun tidak tahu jalan keluarnya.

Setiap orang berduka dengan caranya masing-masing. Beberapa berusaha untuk tidak mengingatnya. Sebagian bisa hilang dalam beberapa hari, dan ia masuk dalam kategori yang larut cukup lama.

Ia tidak begitu ingat alasannya, namun ia cukup akrab dengan duka itu. Duka yang ia anggap sebagai definisi dirinya. Sesuatu yang sungguh tidak perlu-perlu amat ia semati.

Hidup menjadi begitu sepi dan tanpa arah.

Siapa yang menyangka waktu berjalan begitu cepat, begitu licik, begitu enggan untuk bersahabat.

Semua berubah tanpa ia sadari. Tanpa ia mau. Tanpa ia setujui.

Ia terluka tanpa tahu apa obatnya. Ia enggan untuk sembuh. Atau mungkin terlalu takut untuk berjalan maju.

Ia pun sendirian. Kesepian. Dan benci dengan ocehan-ocehannya yang telah lalu.

Haruskah ini berakhir dalam satu jalan kehidupan yang terlanjur ia jalani. Atau mungkin ini hanya satu perasaan kecil yang lagi-lagi hanya ada di kepalanya saja.

Siapa yang butuh duka jika semua sudah terasa nyeri.

Siapa yang butuh realita jika sendiri adalah pasti.

Kali Ini Tentang Berjalan Maju

Akhirnya sampai juga pada satu persimpangan jalan yang tidak membutuhkan saya, kamu, untuk berkongsi dalam basa basi yang kelewat basi.

Bayangkan dirimu sedang berada dalam ruangan klinik kecantikan yang semuanya berwarna putih pucat dengan diiringi musik klasik yang kamu tidak tahu siapa komposernya. Namun untungnya musiknya cukup bisa membuatmu tenang barang satu dua detik karena seorang dokter kini tengah memasukkan jarum berukuran cukup mengintimidasi ke dalam lapisan dalam kulit mukamu dengan penuh semangat. Tentu saja baiknya kamu memejamkan mata. Karena berkali-kali perawat di sampingmu yang sedari tadi memupuk-mupuk pundakmu yang entah apa fungsinya terus menerus menyuruhmu menarik nafas panjang-panjang.

Sebelum tindakan masokis yang tadi diceritakan, empat puluh lima menit sebelumnya perawat tersebut sudah memberikan anastesi pada wajahmu agar rasa sakit tidak terlalu begitu menyiksa. Meskipun seperti yang kita tahu, rasa sakit itu tetap ada. Kamu masih bisa merasakan dinginnya jarum dan perihnya obat yang dihempaskan ke dalam epidermismu.

Like everyone said, beauty is pain. Surely this one is painful. Reka adegan dalam cerita ini adalah salah satu treatment bernama PRP (platelet-rich plasma). Di mana sang dokter memasukkan serum darah atau salmon DNA langsung ke dalam kulit wajah dengan harapan dapat merangsang bopeng-bopeng pada wajah pasien bisa naik sedikit dan meratakan tekstur kulitnya kembali.

Sudah dua tahun saya rajin melakukan treatment ini. Harganya cukup membuat saya puasa barang seminggu dua minggu. Tapi, hasilnya lumayan sih. Muka saya yang awalnya kusem dan seperti jalanan Lampung yang viral itu, sekarang sudah mayan deh. Meski ga cakep-cakep amat, tapi ya sudah saya nawaitu saja berinvestasi demi kesehatan kulit yang lebih baik.

Setiap proses micro needle dan adegan subsisi dilakukan, saya selalu berusaha memusatkan pikiran pada satu memori yang membuat saya merasa bahagia. Tapi kadang usaha tersebut sia-sia. Karena yang ada saya hanya tertawa cekikian dan malah membuat saya melihat jarum besar tadi dekat wajah. Jiper dong.

Maka, seperti yang diajarkan oleh metode mindfuleness di Youtube dan Podcast yang sering saya dengar. Saya belajar untuk menerima rasa sakit itu. Rasa sakit yang seorang teman pernah bilang pada saya, yang selalu saya cari-cari sendiri. Dan entah mengapa memang rasa sakit selalu membuat saya penasaran dan ketagihan.

Kembali pada adegan jarum yang sedang meradang di wajah saya yang didorong lebih jauh oleh sang dokter. Saya mencoba melatih pikiran saya untuk menolak rasa sakit yang kentara itu. Saya ulang berkali-kali ke alam bawah pikiran saya bahwa saya yang memiliki kendali penuh.

Sayangnya, ketika mengalihkan rasa sakit jarum tadi, sekonyong-konyongnya kepala ini dibawa ke dalam memori yang sudah tidak ingin saya lihat.

Secara autopilot otak ini membawa pada perjalanan masa lalu yang begitu usang. Scene saya yang sedang mengemis pada satu orang dengan begitu menyedihkannya. Kok ada ya orang yang begitu bodohnya mau melakukan itu? Membuat saya yang menontonnya ingin bergerak maju untuk menutup itu semua. Mencabik layar panjang yang seharusnya dari awal tidak ada. Kali ini perasaan sakit tadi berganti menjadi perasaan baru yang tidak pernah muncul sebelumnya. Perasaan ini bernama marah.

Marah yang saya yakin tidak pernah saya sampaikan secara langsung pada orang yang seharusnya mengetahui bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah jahat. Dan tidak seharusnya saya melalui itu semua.

Badan saya begitu kaku, sampai suara dokter di luar memori ini menyadarkan saya untuk lebih rileks.

“Ambil nafas ya, pelan-pelan, lalu buang. Tiga kali ya seperti itu.”

Saya mengambil nafas panjang yang disuruh oleh dokter tadi dan kembali bersisian dengan si marah tadi.

“Hei, maneh! Gelut sini ku urang,” seru saya dalam bahasa Perancis.

Orang di memori itu hanya melihat saya tanpa bergerak sedikit pun.

“Kenapa diam saja? Kamu tau ga di luar sana kamu sudah jahat banget sama saya? Kamu pergi pas saya lagi sayang-sayangnya. Kamu pergi tanpa ngejelasin kenapa ini semua berakhir?” saya menyerocos dengan geram.

“Saya ga pernah bilang ini adalah sesuatu. Kamu yang selalu membuat ini jadi lebih dari mana yang seharusnya. Kamu harus melepaskan ini semua,” sesosok aneh namun cakep itu tiba-tiba berbicara.

“Ga usah ngajarin, jiga kitu aing ge ngarti. What I hate is, why don’t you say something? Why do you just leave like nothing happened?” Saya lebih ngotot lagi.

“Karena memang saya jahat. Dan kamu seharusnya tahu lebih awal. Kamu sudah puas?”

“Ga gini. Masa nyerah gitu aja?” Saya menahan perasaan aneh baru lagi yang membuat saya ingin mendorong dokter dan perawat itu pergi.

“Karena ini terlalu lama, dan kamu seharusnya sudah baik-baik saja.”

Satu sosok itu pun pergi, percakapan imajiner itu selesai. Dan perasaan marah tadi berubah menjadi rasa sedih yang pahit.

Dokter itu semakin dalam menekan jarumnya dan meminta maaf jika kali ini terasa sakit sekali karena bopeng di wajah kanan saya yang begitu dalam.

Saya tidak lagi memejamkan mata saya, pikiran saya begitu bulat dan penuh atas kondisi yang detik ini sedang terjadi. Saya secara sadar dapat melihat dua orang tenaga medis yang sedang membantu saya untuk memiliki kulit yang lebih baik.

“Sakit?” dokter itu bertanya lembut.

Saya pun mengangguk dan tiga menit kemudian treatment ini selesai dengan saya yang menghadapi jarum-jarum itu dengan kondisi sadar.

Memegang rasa sakit begitu lama ternyata tidak membuat saya semakin kuat. Yang saya lupa adalah saya harus bisa mengakhirinya. Karena nantinya akan lebih banyak rasa sakit baru yang menunggu. Hehe aja dulu.

Seperti yang Reza Chandika sering gaungkan tentang filosofi rasa sakit yang saya suka.

Hadapi, jangan lari.

Anehnya setelah selesai menuliskan ini semua, perasaan marah dan sedih itu pun ikut hilang.

Why not me?

The question that still remains in my heart.

I was there, visiting your country for the very first time. Expecting to see you in person, at last

Strangely it feels like I have visited this city before. It feels so familiar. The cold, the weather, the smell, the food, everything already resonates with you because you’ve always told me the story of this city. Piece by piece, it makes me feel so close to everything I saw there.

You were drinking your coffee and smiling at me during our Zoom meeting like we used to. Memory that stays forever in my heart.

Among all these people leaving on the street, I somehow have the impression that I can see your smile. In the coffee shop beside the lake, I can feel your presence. I can see you using your laptop while sitting in one of those chairs, with your large eyeglasses and your go-to black hoodie. And when you open that jacket, you wear the green t-shirt with the title of your favorite Murakami book, Norwegian Wood, that you always show proudly.

Sadly, the promise you made is never happening. 

I was there alone, fighting back the tears. I made every effort to get in touch with you. I was texting, emailing, and calling you. You don’t even try to care, though. I wonder why you despise me so much. What’s when wrong between us? I don’t understand why you feel the need to be so cold and distant with me whenever we finally get closer to each other.

And after that rejection, that question just pop out in my head. 

Why not me? 

Why I will never be the one that gets the nice happy ending that I really wanted? Why don’t I ever receive the love that I deserve? 

I just want the story to be different this time.

The story is supposedly like this; when I arrived you supposedly wait for me in the airport, and you’ll be driving around the city in your car and making up stories about how you spent your life here and there. And we eat your favorite Pho and you told me that it is the best Pho in town — not because some arbitrary food blogger says so, but merely because you prefer it more.

In the night you’ll invite me to your place and now I could see the room, which I had previously only been able to peek at on the laptop screen. I evaluated your library’s selection of books and movies. Then we awkwardly kissed one other for the first time after timidly touching each other. But, somehow we both like it. Because you choose to love me and so do I. And we sleep together, cuddling and hugging like what I always dream of.

Why do I never have that story?

Why does it always the same shit, with a different smell?

This time I just want to be with you. I don’t care about the rest.

I light up a second cigarette in a random restaurant next to the street where all of the motorcycles are driven erratically. I sip my Pho alone and down with my sadness. 

I’m just the crazy and fugly one. I will never be the main character.

Then I pay my Pho and walked away to back to my room while drinking my cup of coffee and crying. It felt so good crying in the city who don’t know you at all. Sadly I need to let you go. Because you are just too damn perfect for me and I don’t deserve you.

I took a bath and still crying there.

Maybe next time.

I noticed the time was 11:11. People said that was the best time to pray.

Secretly I wish in a different tale in that alternate reality we were there in that coffee shop, meeting for the very first time, smiling and laughing with each other, and we were both so happy about it.

That’s all.

You don’t talk to me that way

It was a perfect night where you and I sit and laughed together. We ate that delicious nasi uduk with fried tempe that you can’t stop to eat. Over and over again you said that this is the best nasi uduk that you’ve ever tasted so far.

I don’t care. I just like being with you. I just like the fact that you were with me after you got back from work in Sudirman to my campus in Rawamangun. Only for being with me.

I remember that you had promised me when you get your first salary you’ll invite me to Puncak and we will gather a small picnic that you always dream of. The only thing I need to do is sit and look pretty in your parents’ car. That’s all. That’s the whole plan. That’s the whole idea of me loving you back then.

The simple life that I have to wait for 2 fucking years when we were separated by the distance, things that always make me want to give up.

But, I didn’t.

Because you know that I love you that much. Because you know that I never had this bombastic feeling towards someone like I had with you. You knew that.

Day after day when you get busier with work, it makes your intensity got wane. You never call or text me. You never visit me at night ever since.

I miss you, and you knew that.

Then that situation happened. I remember that we promised to watch a film in Cikini. It was a deal after you back from work. At 7 PM. I waited in my favorite library nearby. My heart was pounding nervously. Because actually, this was our first movie date.

I bought two tickets for us. It’s going to be a perfect night. We haven’t seen each other for a while and then we’re gonna watch a film by our favorite author and wrap up the night with a good dinner.

I can’t wait.

I can’t wait to finally be able to see your face again.

To be able to touch your hand.

To play with your eyeglasses.

To smell your cheap perfume that fades with your sweat.

To love you, patiently.

Time passed and I still wait till I know you won’t come.

“Why you are not coming?” I ask.

“Sorry I can’t. Go watch by yourself.”

“Why would I watch this fucking film alone? The whole plan is to watch this with YOU!”

“Why? Why with me?”

“Because I want to and you have fucking promised me.”

You better be joking if you think that it’s not about you.

“I don’t know if it’s a big deal to you. Sorry but I can’t. Gotta go. Bye.”

And that’s the last text you send to me that night. I still watch that film anyway. I cried like shit crazy in the studio. Not because of the story, but because I try to fathom the fact that you stood me up at the last minute. How could you?

A week after, like nothing happened you texted me and asked me to go out. I didn’t reply to that text. Then you call me and ask me why. I reject that phone.

I send you an angry text about how can you treat me like shit whenever we get closer or whenever I wanted to be with you.

You reply that shortly said that you never asked to be that way.

I was silent for a minute, sighed for a bit, and call you right away.

YOU DON’T TALK TO ME THAT WAY. ESPECIALLY AFTER YOU TREAT ME LIKE SHIT AND YOU ALWAYS KNEW THAT I ALWAYS LIKE YOU FOR YEARS.

Why do you treat me like I was special when it isn’t?

Why do you keep promising me that we were something when it isn’t?

I’m not your ego booster. I’m not your second option. You could have been nicer. But you never did.

Sadly, I have never said that. I just blocked you since then. I was so stupid to ever love you that much. You don’t deserve my love.

Never been, and you knew that.

So here we are, and here we remain.